Ternyata, Batita Juga Rentan Depresi

By Irene Harris, Senin, 24 April 2017 | 23:30 WIB
Stres membuat bayi lebih rentan terhadap rasa sedih, malu, gugup, atau cemas saat berpisah. (Dini Felicitas)

Nakita.id - Siapa bilang depresi itu gangguan yang dialami oleh orang dewasa saja? Ternyata, batita pun bisa mengalami depresi. Bahkan, menurut penelitian yang dimuat di Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, gejala gangguan kecemasan dan depresi ini sudah dapat diprediksi sejak anak baru lahir.

Dalam penelitiannya, para ahli dari Washington University School of Medicine di St. Louis menganalisis otak dari bayi yang baru lahir dan menemukan adanya koneksi yang kuat dan terpola antara sejumlah area tertentu di otak yang berkaitan dengan tingginya peluang bayi mengalami sejumlah emosi secara berlebihan. Hal ini membuat bayi lebih rentan terhadap rasa sedih, malu, gugup, atau cemas saat berpisah saat memasuki usia 2 tahun.

Pada anak-anak yang lebih besar maupun dewasa, gejala-gejala seperti ini biasanya banyak dihubungkan dengan gejala depresi klinis atau gangguan kecemasan.

Penelitian yang dilakukan Cynthia Rogers, MD, Asisten Profesor di bidang Psikiatri Anak ini pada awalnya ditujukan untuk mencari tahu apakah bayi-bayi yang lahir prematur memiliki risiko lebih besar untuk mengalami gangguan kejiwaan, termasuk depresi dan kecemasan, saat mereka besar nanti.

Dalam penelitiannya, tim ahli berfokus mengamati bagaimana struktur otak yang terlibat dalam pemrosesan emosi, yaitu amigdala, menjalin koneksi dengan area otak lainnya. Untuk itu, Rogers dan rekan-rekannya melakukan pemindaian MRI terhadap 65 bayi yang lahir cukup bulan dan 57 bayi yang lahir prematur setidaknya 10 minggu lebih cepat.

Rogers menyebutkan, hasil penelitian ternyata tidak menemukan adanya perbedaan gejala kecemasan dan depresi antara bayi yang lahir cukup bulan dengan prematur. "Keduanya sama-sama memperlihatkan pola koneksi yang sama. Bahkan, koneksi antara amigdala dengan sejumlah area otak lainnya ini juga serupa dengan yang ditemukan pada orang dewasa dengan gangguan kecemasan dan depresi," kata Rogers.

Ke depannya, peneliti berencana untuk melakukan evaluasi lanjutan terhadap anak-anak yang menjadi responden penelitian saat mereka berusia 9-10 tahun. Evaluasi ini bertujuan untuk mencari tahu apakah risiko gangguan kecemasan dan depresi pada batita ini dapat terus bertahan sejalan dengan pertambahan usia anak.