3 Kebutuhan Dasar Anak yang Harus Dipenuhi Orangtua

By je, Senin, 6 November 2017 | 09:45 WIB
4 Kebutuhan Anak Agar Bahagia (Ipoel )

nakita.id - Anak-kanak memiliki 3 kebutuhan dasar yang bila tidak terpenuhi dapat berdampak pada perkembangan selanjutnya. Apa sajakah 3 kebutuhan dasar tersebut?

1. Kebutuhan akan otonomi.

Anak memiliki keinginan untuk menentukan pilihan-pilihan sendiri. Umumnya ini sudah terlihat pada perilakunya sehari-hari dan sudah tampak sejak anak usia setahun. Misalnya, ingin memilih baju sendiri, ingin makan sendiri walau sebenarnya belum mampu melakukan sendiri.

2. Kebutuhan akan perasaan kompeten.

Anak memiliki kebutuhan untuk merasa bahwa dirinya mampu melakukan berbagai hal dan dapat berfungsi secara efektif dalam lingkungannya. Bila orangtua tidak mendukung, bisa-bisa si anak menjadi kurang percaya diri dan merasa tidak dihargai sehingga  kelak motivasi intrinsiknya jadi terpengaruh.

Misalnya, mau membantu ibu mengepel. Akan tetapi, karena masih kecil, maka airnya malah membasahi lantai dan licin. Orangtua yang tidak bijaksana akan memarahi si anak. Bila tindakan-tindakan seperti ini sering dilakukan oleh orangtua, maka sikap tersebut mampu mengikis rasa percaya diri anak. Akibatnya, si anak merasa kurang dihargai, yang akhirnya dapat berbuntut menjadi malas berinisiatif karena merasa dirinya tidak berkompeten melakukan. "Toh, aku selalu salah."

3. Kebutuhan untuk berhubungan secara sehat dengan orang lain.

Kebutuhan untuk menjalin hubungan emosional yang aman dan nyaman dengan orang-orang di sekitarnya. Antara lain, anak perlu merasa dirinya dihargai dan dicintai tanpa syarat. Hubungan sehat yang paling pertama dan paling penting adalah dengan orangtua sebagai orang terdekat. Bila ini tidak terjalin dengan baik, lambat-laun hubungan emosional dengan orangtua jadi terhambat. Misalnya, orangtua tidak mau mendengarkan pendapat/keinginan anak dan selalu ingin mengatur semua hal dalam kehidupan pribadi si anak. "Sudah, kamu enggak usah ikut-ikutan, Mama saja yang mengatur, kamu diam saja," contohnya.

Akibatnya, ide-ide yang semestinya ada dalam benak si anak dan ingin dilontarkan, terpaksa harus dipendam. Anak merasa dirinya tidak didengarkan dan tidak dihargai oleh ibunya sehingga ia sulit untuk merasa aman dan nyaman dalam mengemukakan pikiran dan perasaannya.

Lama-kelamaan anak berpikir tak perlu punya inisiatif, karena toh, nanti ada Ibu atau orangtua yang mengatur segalanya. Bisa jadi kelak anak beranggapan, "Wah, aku tidak mampu melakukan hal itu!" Rasa percaya dirinya menjadi kurang dan dalam pergaulan sudah cukup puas dengan mengikuti keinginan oranglain atau temannya. Dengan demikian, potensi anak tidak berkembang secara optimal.

BERIKAN KESEMPATAN

Orangtua hendaknya memberikan kesempatan kepada anak untuk memilih. Walau tidak pada semua hal yang berhubungan dengan kehidupan anak.

Proses menentukan pilihan ini sebaiknya sudah diajarkan kepada anak sejak masa balita. Mulailah dari hal-hal sederhana. Misalnya, menentukan menu sarapan, memilih warna baju yang akan dipakai. Penuhilah pilihannya itu, sehingga anak benar-benar merasa dihargai.

Lakukan hal itu secara berkesinambungan, tak hanya pada usia balita saja. Lanjutkan saat anak berusia 6 sampai 9 tahun. Ini adalah masa yang penting, karena merupakan proses pemantapan. Terus ajari anak untuk memilih dan mengambil keputusan sendiri sehingga rasa percaya diri anak dapat tumbuh dengan baik.

Selanjutnya, sampaikan cara-cara bernegosiasi jika anak tidak menyukai pilihan-pilihan yang ditawarkan. Upayakan pula untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang gamblang sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh anak. Anak pun jadi terbiasa untuk mengemukakan alasan atau mengajukan pertimbangan-pertimbangan sebelum memutuskan pilihan.

Misalnya, saat akan diajak pergi ke pesta. Anak menolak ditawari menggunakan baju pesta dan memilih menggunakan celana pendek serta kaus. Tanyakan alasannya. Jangan lupa, orangtua hendaknya juga melontarkan alasan-alasan dibarengi penjelasan tentang kondisi pesta umumnya.

Membiasakan anak mengambil keputusan sendiri, melihat dan menilai situasi yang dihadapi, niscaya akan memupuk rasa percaya diri yang tinggi. Ia juga akan mampu mengambil keputusan sendiri bila dihadapkan pada beragam pilihan dalam kehidupannya kelak. Yang penting lagi, ia tidak tumbuh menjadi generasi pengekor yang hanya mengikuti keputusan orang lain.

Sebaliknya bila anak tidak diberi kesempatan untuk memilih dalam hampir semua aspek kehidupannya, ia bisa menjadi manusia yang tidak mampu mengambil keputusan sendiri. Juga, lebih banyak melakukan sesuatu semata-mata karena menurut orang lain baik, bukan karena menurutnya baik. Misalnya, saat remaja, ketika rok mini sedang menjadi tren, anak ikut-ikutan memakainya, padahal sesungguhnya ia tak pantas mengenakan model itu.

Untuk tidak menjadi seperti itu, tanamkan kemampuan memilih dan mengambil keputusan yang tepat. Caranya, beri kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan sendiri dan menerima konsekuensi dari pilihannya. Tentu saja dengan melalui proses negosiasi dan alasan yang jelas.