Mengeluh Bergaji Rendah? Tengok Kisah Guru Honorer di NTT yang Digaji Rp85 Ribu Sebulan

By Kirana Riyantika, Selasa, 2 April 2019 | 16:40 WIB
Guru honorer tetap semangat meski bergaji rendah (KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS)

Nakita.id - Bekerja merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk menambah skill, pengalaman serta membiayai kebutuhan hidup yang makin melambung.

Namun, masih banyak yang mengeluh memiliki gaji rendah.

Apakah Moms juga mengeluhkan gaji rendah? Jika ya, coba tengok perjuangan guru honorer ini.

Baca Juga : Berikan yang Terbaik, Bahan Alami Harus Jadi Pilihan Utama Agar Bayi Terlindungi

Kesejahteraan guru honorer yang mengabdi di sekolah di pedalaman Kabupaten, Sikka, Flores, NTT masih sangat jauh dari ideal.

Nasib itu dialami sembilan orang guru honorer yang mengabdi di SMPN 3 Waigete, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores.

Kesembilan guru honorer di sekolah negeri itu hanya menerima insentif sebesar Rp 85. 000 per bulan.

Tentu, insentif sekecil itu tidak bisa menutupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka.

Namun, meski kerja dengan upah yang sangat kecil itu, semangat mereka untuk mencerdaskan anak bangsa tidak pernah suram dan pudar.

Baca Juga : Pasca Dipolisikan, Lia Ladysta Buat Pengakuan Panas: 'Kenapa Aku Musti Nyebut Kayak Gitu'

Setiap hari mereka tetap datang di sekolah untuk mendidik anak-anak SMPN 3 Waigete.

Salah seorang dari sembilan guru honorer di sekolah negeri itu, Maria Yuliwati, bersedia diwawancara Kompas.com, Senin (1/4/2019).

Dia menuturkan dirinya sudah dua tahun mengabdi jadi guru honor di sekolah itu.

Kata dia, sejak dirinya mulai mengajar dari tahun 2017 sampai sekarang, ia dan delapan guru lainnya diberi insentif sebesar Rp. 85.000 per bulan.

Menurut dia, besaran uang tersebut tidak bisa disebut gaji.

Tetapi lebih tepat namanya insentif untuk uang sabun.

"Kalau dilihat dari jumlah uang memang sangatlah kecil. Tetapi, kami tidak kecil hati dan kecewa. Bagi kami, masa depan anak-anak jadi hal utama. Itulah semangat kami," tutur Maria.

Baca Juga : Terkuak, Menantu Elvy Sukaesih Sebut Ada 'Player', 'Kompor' Perseteruan Wirdha dan Ibunya, Peramal Bongkar Sosoknya

Lanjut dia, upah yang kecil malah menjadi pemacu untuk memberikan yang terbaik bagi anak didiknya.

"Kami tidak sedih. Meski kami harus utang di orang untuk menutupi kebutuhan keluarga setiap bulan. Kami juga harus berani meminjam ladang milik warga setempat untuk tanam padi atau pun jagung. Kalau tidak, kami makan apa. Uang dari sekolah sangat tidak cukup untuk kebutuhan keluarga," ungkap Maria.

Guru lain bernama, Fransiskus Serang mengaku persoalan upah kecil tidak menjadi persoalan untuk berhenti mengajar.

Menurutnya, pendidikan itu sangatlah penting bagi masa depan anak-anak.

Pendidikan adalah kunci masa depan anak bangsa.

"Kalau berpikir soal upah, yah pasti sudah mundur dari guru. Kami mau makan apa dari upah Rp 85.000 per bulan. Tapi kami mencintai pendidikan. Kami mencintai profesi guru. Kami sayang anak-anak," tutur Frans.

Frans mengaku, guru adalah profesi yang mulia.

Kemuliaan itulah yang membuatnya jatuh cinta dan tetap bertahan menjalankan tugas sebagai guru.

Meskipun, nasib masih jauh dari untung.

"Upah petani dan buruh bangunan masih jauh lebih besar dari kami para guru. Yah, inilah pendidikan kita. Menyedihkan tetapi harus terus dijalani. Mungkin ada waktunya kamk mendapat upah yang lebih layak nanti," kata Frans dengan penuh harap.

Jangan Menyerah, Semuanya Belum Usai, Kepala SMPN 3 Waigete, Hendrikus Seda selalu berpesan kepada guru dan para siswanya agar tidak putus asa dalam kondisi serba sulit itu.

Ia melanjutkan, selain upah yang kecil, minimnya fasilitas sekolah jadi tantangan bagi para guru dan siswa SMPN 3 Waigete.

Baca Juga : Pengusaha Tambang Sukses, Suami Sandra Dewi Manjakan Istri dan Anaknya dengan Deretan Fasilitas Mewah Ini

"Kalau dilihat dari segi upah, memang guru-guru di sini sangat tidak layak. Tetapi, mereka semua luar biasa. Bagi mereka upah bukan sebuah perkara. Masa depan anak bangsa yang mereka utamakan," kata Hendrikus.

"Begitu pula dengan siswa. Mereka tetap rajin datang di sekolah meski harus belajar di gedung yang sempit dan nyaris ambruk," tambahnya.

Kepada para guru dan siswa-siswi, ia selalu meminta agar tidak putus asa.

"Jangan menyerah. Semuanya belum usai. Kondisi kita begini, jangan buat putus asa. Belajar dan terus belajar. Kita semua berharap, ke depan pemerintah bisa memerhatikan nasib guru honor di sekolah ini. Begitu juga dengan kondisi sekolah yang masih bangunan darurat," ungkap Hendrikus dengan penuh harap.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Guru Honorer Bergaji Rp 85.000 Sebulan di Pedalaman Flores NTT"