Gunung Agung Kembali Meletus, NASA Malah Bilang Manusia Harus Bersyukur karena Alasan ini!

By Maharani Kusuma Daruwati, Sabtu, 25 Mei 2019 | 20:04 WIB
Gunung Agung kembali meletus. (BackGrid / dailymail.co.uk )

Nakita.id - Gunung Agung di Bali meletus dan memuntahkan lava pada Jumat (24/5/2019) malam.

Akibatnya abu vulkanik menyebar di atas pulau dewata tersebut dan memaksa semua penerbangan yang masuk dan keluar dari Bali dibatalkan.

Dilaporkan oleh dailymail.co.uk pada Sabtu (25/5/2019), lava menyembur ke luar dari kawah dan menuruni lereng sejauh 3 km.

Baca Juga: Berikan yang Terbaik, Bahan Alami Harus Jadi Pilihan Utama Agar Bayi Terlindungi

Letusan berlangsung selama empat menit dan 30 detik.

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengatakan, tidak ada evakuasi segera karena desa-desa tersebut berada dalam zona aman.

Sementara menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia (PVMBG), suara gemuruh dari letusan terdengar cukup kuat dari pos pemantauan.

Diketahui Gunung Agung menjadi aktif kembali pada tahun 2017 setelah lebih dari setengah abad tidur setelah letusan besar pada tahun 1963.

Ini adalah ketiga kalinya gunung berapi meletus bulan ini, dengan dua insiden lainnya terjadi pada 12 Mei dan 18 Mei 2019.

Jika berbicara soal gunung meletus, tentu kita akan was-was. Terutama Gunung Agung yang merupakan salah satu gunung api terbesar di Indonesia.

Namun jika Gunung Agung meletus, menurut para peneliti dan ilmuwan NASA kita harus bahagia.

Menurut mereka, meletusnya Gunung Agung itu berpotensi menyelamatkan dunia dari perubahan iklim.

Baca Juga: Gemasnya Putri Bungsu Shireen Sungkar Pakai Hijab Bayi, Cantik dan Lucu!

Kok begitu?

Kabar ini sempat menjadi pembicaraan hangat pada Februari 2018 silam.

Saat itu NASA berharap bisa memanfaatkan gunung berapi yang meletus di pulau itu—ya benar, Gunung Agung—untuk mempelajari efek lebih lanjut.

Para peneliti itu berharap, dengan melacak letusan Gunung Agung, mereka bisa tahu lebih banyak tentang bagaimana bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfer bisa digunakan untuk melawan perubahan iklim.

Setelah Gunung Agung bangun dari tidur dan kemudian meletus pada akhir November tahun lalu, secara konsisten gunung itu menuangkan uap dan gas ke atmosfer.

Fenomena ini cukup khas meskipun beberapa gunung berapi begitu kuat sehingga bisa menyebabkan apa yang dikenal dengan “musim dingin vulkanik”.

Letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah yang tercatat terjadi di Gunung Tambora pada 1815.

Letusan ini menyebabkan “Tahun Tanpa Musim Panas”, menyebabkan turunnya salju di Albany, New York, pada Juni setahun berikutnya.

Baca Juga: BERITA POPULER: Intip Mewahnya Ruang Makeup dan Backstage Syahrini yang Eksklusif Hingga Luna Maya Justru Sudah Kenakan Cincin di Jari Manisnya

Letusan ini juga menghancurkan tanaman pangan, membuat orang-orang kelaparan, dan rupanya mengilhami Mary Shelley untuk menulis Frankenstein.

Bagi para peneliti, Gunung Agung bisa menjadi kesempatan mereka untuk mengetahui bagaimana gunung berapi mempengaruhi iklim seperti Gunung Tambora.

Penelitian ke Gunung Agung dimulai dengan penerbangan sepuluh jam ketika sebuah gunung berapi di Filipina meletus pada 1991.

Para ilmuwan telah mengambil tren selama letusan skala yang lebih kecil pada 1982 dari gunung berapi El Chichon di Meksiko, tapi tidak ada yang seperti apa yang mereka lihat di Gunung Pinatubo di Filipina yang disebut sebagai letusa terbesar abad ke-20.

Memuntahkan satu kubik mil batu dan abu ke udara dan 20 juta ton gas belerang dioksida ke atmosfer, Gunung Pinatubo tidak hanya menghancurkan masyarakat sekitar tapi sejumlah gasnya yang dikeluarkannya mempengaruhi keseluruhan planet kita.

Ketika Pinatubo meletus, sejumlah besar gas yang dikeluarkan menyebar ke seluruh dunia.

Sejurus kemudian, terjadi reaksi kimia, ketiga gas bercampur dengan uap air yang menghasilkan tetesan “super dingin” kecil yang dikenal sebagai aerosol.

Pada gilirannya, aerosol itu memantulkan dan menyebarkan sinar matahari ke bumi.

Baca Juga: Kegirangan dapat Bunga Idaman dari Kekasih, Gisella Anastasia Peluk Mesra Wijin

Sejumlah besar aerosol memantulkan cahaya yang cukup jauh dari bumi sehingga suhu global rata-rata turun satu derajat Fahrenheit selama beberapa tahun.

Letusan seperti ini, menurut The New York Times, adalah influencer alami bumi.

Para ilmuwan berharap mereka dapat memanfaatkan letusan ini untuk mempelajari peristiwa besar berikutnya—dan berpotensi menyelamatkan planet ini dari serangkaian dahsyat yang mengerikan.

Menurut para ilmuwan itu, letusan Gunung Agung identik dengan Pinatubo.

Itulah sebanya NASA berharap bisa mengirim balon ke udara yang dilengkapi perangkat untuk mengukur dampak letusan gunung berapi di atmosfer bumi.

Baca Juga: Terlalu Sayang Anak, Papa Irish Bella Pakai Kaos Bergambar Kedua Anaknya

NASA berharap bisa mempelajari efeknya selama bertahun-tahun yang akan datang.

Jika letusan Gunung Api bisa sebesar letusan tahun 1963, ia bisa memompa cukup belerang dioksida ke atmosfer untuk menghasilkan efek pendingin yang signifikan meski pada awalnya akan merusak lapisan ozon.

Tapi masalahnya, para peneliti itu tidak tahu persis kapan Gunung Agung meletus dengan letusan besar. 

#GridNetworkJuara

 Artikel ini sudah pernah tayang di Intisari dengan judul Gunung Agung Kembali Meletus: Menurut NASA, Jika Gunung Agung Meletus, Maka Itu Berita Bahagia Bagi Kehidupan Umat Manusia