Ternyata, insiden tersebut tak hanya sekali terjadi.
Sekitar 1976-2005, peristiwa yang sama menimpa perempuan Aceh.
Sementara 1976-1999, peristiwa tersebut menimpa perempuan di Timor Leste.
Usaha dalam mengungkap kasus ini sangat tidak mulus.
Jajaran petinggi bangsa, termasuk Menhankam/Pangab Jendral TNI Wiranto dan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita seolah denial terhadap insiden ini.
Sikap diam dan penolakannya didasarkan dengan alasan tidak adanya kasus pemerkosaan dan korban pemerkosaan di beberapa rumah sakit yang telah diperiksa.
Meski terus dipertanyakan dan jadi perdebatan, dengan lantang dan tegas, Presiden BJ Habibie membacakan surat pernyataan yang kemudian ditayangkan di televisi nasional, 15 Juli 1998.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Antikekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, mengatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Untuk hal itu, saya menyatakan bahwa pemerintah akan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kembali kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia.
Saya harapkan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera aparat pemerintah jikalau melihat ada kecenderungan ke arah kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga dan di manapun juga.
Oleh karena itu, saya atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Assalamualaikum Warahmatulah Wabarakatuh
Jakarta, 15 Juli 1998
ttd
BJ Habibie