Jangan Bangga Kalau Batita Tak Kenal Takut

By Ipoel , Rabu, 27 Juli 2016 | 06:04 WIB
Jangan Bangga Kalau Batita Tak Kenal Takut (Ipoel )

Tabloid-Nakita.com - Sering kan melihat si batita yang tak kenal rasa takut. Binatang apa pun, tak sedikit pun membuatnya terkejut. Ia bahkan berani melakukan sesuatu yang kadang orang dewasa sendiri takut menghadapinya. Seorang rekan bahkan dengan bangganya memperlihatkan anaknya berani melakukan berbagai aktivitas out bound tanpa rasa takut. "Enggak ada takutnya, hebat lo! Kok disebut hebat ya?

Jangan bangga dulu kalau batita tak kenal takut, begitu pesan psikolog. Ini  karena di usia ini, fungsi neurologis anak masih belum matang. Artinya, anak bukan berarti berani saat melakukan kegiatan menantang, melainkan nekat. Menurut Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi., Psikolog, dosen dan psikolog dari Universitas YARSI, Jakarta, bagian prefrontal di otak depan, yaitu bagian otak yang dianggap berperan untuk melakukan penilaian dan pengambilan keputusan, belum berkembang sempurna. Dengan demikian, batita sering kali melakukan tindakan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu mengenai bahaya atau konsekuensi yang mungkin muncul dari tindakannya.

   Faktor kebutuhan eksplorasi yang tinggi dalam dirinya, ditambah dengan minimnya pengalaman mengenai arti ‘bahaya’ serta perkembangan otak ‘penalaran’ yang belum sempurna, menyebabkan batita memunculkan perilaku yang kerap dianggap orang lain sebagai nekat. Oleh karena itu, perilaku nekat pada anak batita adalah hal yang wajar sesuai tahap perkembangannya.

    Sebelumnya, Mama-Papa juga jangan keliru membedakan perilaku nekat dengan berani, ya. Nekat merupakan perilaku yang dilakukan tanpa berpikir panjang, dimana anak cenderung melakukan sesuatu hanya didasari oleh dorongan hati dan keingintahuannya saja, tanpa memahami konsekuensi yang mungkin muncul dari tindakannya tersebut.Misalnya, seorang anak melihat temannya di seberang jalan, lalu sangat kegirangan dan tiba-tiba berlari menyeberang jalan tanpa melihat ada tidaknya kendaraan yang melintas.

   Sedangkan anak yang pemberani adalah anak yang mampu menantang kemampuan dirinya sendiri meskipun dia tahu bahwa ada kemungkinan dia akan mengalami kerugian dari tindakannya. Misalnya, seorang anak berani tampil menyanyi di depan umum sementara teman-temannya menganggap bahwa menyanyi di depan umum adalah hal yang menakutkan.

BELUM KENAL TAKUT

Masalahnya, perilaku  “nekat” yang kadang ditunjukkan oleh batita bukan nekat dalam arti sesungguhnya, namun ia memang belum mengenal rasa takut. “Untuk mengenal rasa takut akan bahaya yang ada di lingkungan, anak membutuhkan pengalaman belajar dan perkembangan otak yang lebih sempurna,” ujar psikolog yang akrab dipanggil Arrum ini. Tahapan mulai terbentuknya pemikiran ‘sebab-akibat’ pada anak biasanya akan mulai muncul saat ia menginjak masa prasekolah. Pada masa ini, bagian prefrontal mulai berkembang lebih sempurna. Seiring dengan pengalaman dan belajar yang didapatkannya dari lingkungan, serta kemampuan komunikasinya yang semakin baik, anak mulai mengenali hal-hal apa saja yang membuatnya takut, apakah itu binatang tertentu, orang tertentu, benda-benda tertentu, dan lainnya.

   Karena pada anak batitasegala sesuatu masih bersifat netral, terbentuknya pemicu rasa takut sangat tergantung pada bagaimana orang di sekitarnya mengenalkan dan mengajari batita mengenai ‘takut’ itu sendiri. Anak dapat belajar rasa takut melalui apa yang dilihatnya ataupun berdasarkan apa yang diresapinya dari nasihat orang dewasa di sekitarnya. Arrum memberikan contoh, “Adit melihat temannya yang memanjat pohon jatuh dan menangis kesakitan. Lalu ibunya memberi tahu, ‘Nah, kalau manjat-manjat pohon, bisa jatuh, dan kalau jatuh, sakit jadinya.’ Dari sana, Adit pun mulai membentuk konsep ‘takut memanjat pohon’ di dalam kepalanya. Sebaliknya, Farel yang sering melihat ayahnya memanjat pohon bahkan mengajari Farel untuk berlatih memanjat pohon, tidak takut bila diminta memanjat pohon. Ia justru berteriak kegirangan.”

  Oleh karena perkembangan pola berpikir ‘sebab-akibat’ belum sempurna pada diri anak batita, konsep kewaspadaan pada batita bisa diajarkan melalui pendampingan dan contoh-contoh langsung yang bersifat konkret. Sebagai contoh, untuk mengajarkan “harus waspada saat menyeberang jalan”, Mama dapat mengajak dan mendampingi batitanya saat menyebrang jalan sambil menggandeng dan mengajaknya berbicara, “Nak, kalau mau menyeberang, harus waspada. Berhenti dulu di pinggir, tengok ke kanan, tengok ke kiri. Kalau kosong, yuk maju beberapa langkah sambil terus berhati-hati.”

  Seiring dengan pengalaman dan belajar yang didapatkannya dari lingkungan, serta kemampuan komunikasinya yang semakin baik, anak mulai mengenali hal-hal apa saja yang membuatnya takut, apakah itu binatang tertentu, orang tertentu, benda-benda tertentu, dan lainnya.

GUNAKAN KARA “STOP” DAN “AWAS”

Arrum tak mengingkari, terkadang ada situasi dimana kita belum sempat mengajarkan kewaspadaan akan suatu hal, namun si batita tiba-tiba melakukan hal yang kita golongkan nekat dan harus segera dihentikan. Dibandingkan melarang dengan kata-kata “Jangan dekati,”lebih baik katakan“Stop” atau “Awas!”

   Misalnya, saat Mama sedang memasak, si kecil tiba-tiba mendekati kompor dan mengulurkan tangan. Saat hal seperti itu terjadi, segera cegah dengan kata-kata “Stop!” dan langsung menjauhkan tangan si kecil dari area kompor. Peringatan dibutuhkan saat ada situasi-situasi mendesak seperti itu.

  Membentak, memarahi apalagi memukul dan memarahi tidak akan membuat batita Mama paham tentang arti waspada dan bahaya. Setelah larangan dan peringatan spontan yang kita keluarkan, biasanya si kecil merasa kaget atau marah. Oleh karena itu, setelah memberi peringatan dan mengamankan si kecil, yang perlu kita lakukan justru memeluknya kemudian dengan sabar memberi penjelasan sederhana tentang alasan peringatan kita. Seperti kejadian dengan kompor tadi, jauh si batita dari kompor dan jelaskan dengan tenang sesuai pemahamannya. Misalnya, “Kompor itu panas, nanti tangan adik terbakar.” Tataplah matanya dan berkomunikasilah sehangat mungkin, sehingga si kecil tahu bahwa mamanya melarang untuk melindungi dirinya, bukan karena marah atau tidak suka kepadanya.

  Penting Mama dan Papa perhatikan bahwa peringatan mendadak seperti ini harus selalu disertai dengan penjelasan mengapa si kecil tidak boleh melakukannya. Jika Mama dan Papa tidak berhasil mengaitkan peringatan mendadak dengan perilaku yang dilarang, batita akan cenderung mengulangi lagi, karena ia tidak paham maksud larangan Mama dan Papanya. Seperti contoh dalam kasus kompor tadi. Ketika Mama hanya berkata, “Awas! Bahaya,” lantas menggiring si kecil keluar dari dapur tanpa menjelaskan apa yang dianggap bahaya, maka jangan terkejut kalau si kecil akan datang lagi mendekati kompor.

   Selain itu, peringatan mendadak seharusnya memiliki fungsi kejut. Sehingga batita Mama akan langsung berhenti dari kegiatan yang membahayakan. Jika Mama dan Papa sering memberikan peringatan mendadak tanpa menjelaskan alasannya, maka efek kejutnya akan menghilang. Batita Mama seolah sudah “kebal” dengan peringatan Mama.

Oleh:  

Amanda Setiorini (kontributor nakita)