Libatkan Anak dalam Aksi Bom Bunuh Diri Surabaya, Ini Kata Psikolog

By Amelia Puteri, Senin, 14 Mei 2018 | 16:54 WIB
Potret keluarga bom bunuh diri di 3 gereja di Surabaya, Jawa Timur (collage nakita.id)

Nakita.id - Peristiwa ledakan bom hari Minggu (13/5/2018) pagi memberikan luka yang mendalam bagi rakyat Indonesia.

Ledakan terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, yaitu di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro, Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna, dan Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya.

Pelaku pengeboman adalah keluarga yang beranggotakan 6 orang.

"Pelaku diduga satu keluarga," ujar Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Surabaya, Minggu (13/5/2018) sebagaimana dikutip dari Kompas.com.

BACA JUGA: Sisi Lain Puji Kuswati, Ibu Libatkan Anaknya Pada Peledakan Bom GKI Surabaya

Adalah Dita Supriyanto dan istri Puji Kuswanti, serta 4 orang anaknya yakni Fadilah Sari (12), Pamela Rizkita, Yusuf (18), dan Lukman (12).

Mereka melakukan aksi bom bunuh diri dengan cara berpencar ke tiga titik ledakan.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, mengecam keras dengan mengatakan, bahwa keterlibatan anak-anak merupakan pelanggaran serius dan tidak seharusnya terjadi.

Namun, menjadi sebuah pertanyaan, aspek psikologis apa yang mendasari seorang anak ikut serta dalam tindakan bom bunuh diri?

Psikolog Gisella Tani Pratiwi, M.Psi., Psikolog, mengatakan bahwa dari segi perkembangan anak, ia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya.

"Jadi mulai usia 0 tahun, apalagi ketika bayi, di bawah usia sekolah hingga remaja, anak pasti akan bergantung kepada keluarga khususnya orangtuanya, yang menjadi pihak pertama yang mengasuh anak," jelas Giselle saat diwawancarai oleh tim Nakita.id via telepon pada Senin (14/5/2018).

BACA JUGA: Bintik Susu pada Wajah, Begini Cara Menghilangkannya Secara Alami

"Orangtua dan lingkungan memberikan pemahaman dasar untuk membentuk sistem nilai-nilai dalam diri anak. Jadi, apapun nilai yang disampaikan, diajarkan lewat perilaku, tindakan, baik ajaran secara verbal, kebiasaan, rutinitas, atau ajaran-ajaran nilai, agama, dan norma tertentu oleh keluarga, akan menjadi pegangan dasar untuk anak," jelasnya.

Apalagi jika nilai tersebut sudah ditanamkan sejak dini kepada anak, Gisella berpendapat bahwa kemungkinan besar nilai-nilai itu akan tertanam dalam diri anak.

Bahkan, terbawa sampai masa remaja dan dewasa.

"Kecuali anak mendapatkan intervensi, atau mendapat wawasan mengenai hal-hal lain yang membuat dirinya memiliki sudut pandang lain," tambahnya.

BACA JUGA: Bentuk Ujung Lipstik Bisa Tunjukkan Kepribadian, Mana Lipstik Moms?

"Namun jika memang sejak kecil nilai dan norma ditanamkan secara konsisten, terus menerus diajarkan, mau tidak mau anak akan menyerap nilai tersebut. Karena anak bergantung kepada orangtua, sebagai lingkungan terdekat mereka untuk tumbuh dan berkembang," jelas Gisella.

Mengingat pentingnya nilai dan norma yang diajarkan oleh keluarga kepada pembentukan diri anak, maka perlu dihindari penanaman nilai yang berkaitan dengan kekerasan dan pelanggaran HAM.

Namun, ajarkan nilai yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan belas kasih serta toleransi terhadap sesama.

Demikian analisa Gisella terhadap fenomena yang terjadi dengan sudut pandang teori tumbuh kembang anak.