Cara Menghadapi Anak yang Menjadi Drama Queen

By Ipoel , Selasa, 30 Oktober 2012 | 21:00 WIB
Ketahui cara menghadapi anak yang menjadi drama queen. (Pixabay/99vero)

Nakita.id - Apa pun penyebabnya, perilaku mendramatisasi masalah perlu disikapi dengan bijak karena ada pesan di baliknya, yakni kebutuhan anak untuk diperhatikan.

Berkaitan dengan itulah, introspeksi merupakan cara bijak untuk mengetahui apakah selama ini kita memang kurang memberikan perhatian kepada anak, atau baru memerhatikannya ketika anak menunjukkan perilaku heboh.

Setelah itu, tentunya kita tidak bisa membiarkan anak tampil sebagai drama queen/king yang tentu bisa berdampak buruk pada sosialisasinya kelak.

Bukankah orang yang sering melebih-lebihkan masalahnya untuk mencari perhatian itu cenderung menyebalkan?

Jadi apa yang perlu kita lakukan saat anak berperilaku seperti ini?

Sebagai langkah awal tentunya, kita perlu memilah apakah ekspresi yang ditunjukkannya itu memang murni atau manipulasi.

Ketika ia berteriak kesakitan, tapi luka yang tampak hanya berupa goresan biasa, pastilah ia tengah cari perhatian belaka.

Berbeda bila lukanya mengeluarkan darah banyak, yang tentu wajar menimbulkan rasa sakit sehingga ia menangis meraung-raung.

Berikut beberapa langkah yang disarankan:

Baca Juga: Anak Tersiksa karena Batuk Terus-terusan, Pertolongan Pertamanya Ada Pada Air Rebusan Daun Saga

1. Jangan berlebihan

Ketika anak terjatuh, usahakan untuk tidak panik. Lihat keadaan kondisinya, lantas tangani sesuai kebutuhan.

Ketenangan kita akan memengaruhi juga ketenangannya. Untuk itulah terkadang perkataan yang membuatnya nyaman diperlukan. “Tidak apa-apa kok Kak.  Kakak hanya kurang hati-hati!”.

Sikapi juga tangisan atau teriakan anak (karena mengantuk atau lapar, misal) dengan tenang.

Tanggapi kebutuhannya tanpa berlebihan, yang penting, tanggapan orangtua tetap dapat memberinya kenyamanan, “Yuk tidur, kayaknya Kakak ngantuk!” 

2. Ajak komunikasi

Terciptanya komunikasi yang baik antara orangtua dan anak akan membuat anak nyaman karena merasa dihargai, diperhatikan, dan disayang.

Carilah kesempatan untuk membicarakan berbagai topik; dari aktivitas kesehariannya, prestasi yang sudah ia lakukan, hingga perilaku negatif yang diperbuatnya, tentu dengan cara yang menyenangkan.

Anak yang merasa nyaman dengan lingkungannya akan mampu menyalurkan emosinya dengan lebih baik.

Baca Juga: Strategi Mengenalkan MPASI pada Bayi untuk Pertama Kalinya Menurut Ahli, Benar-benar Jitu Moms Harus Coba Sekarang

3. Bantu anak memahami emosi

Saat ia menangis tanya dengan lembut alasannya, apa yang ia rasakan, dan apa yang sedang ia pikirkan.

Sebaiknya orangtua tidak dulu berorientasi untuk memenuhi kebutuhan anak.

Arahkan anak untuk memahami gejolak emosi yang tengah dialaminya lebih dulu.

Contoh, “Oh, Kakak kesal karena enggak bisa ambil cokelat di kulkas? Lain kali enggak perlu nangis gitu, bilang saja ke Mama, nanti Mama bantu.”

Pernyataan seperti itu membuat anak belajar mengenali emosinya, dan tahu bahwa ada cara selain menangis untuk meminta sesuatu, yakni dengan jujur mengungkapkan perasaannya/keinginannya.

Reaksi seperti  “Kakak kenapa? Cup cup cup… kasihan, sini sama Mama!” kemungkinan akan  menjadi stimulus bagi anak untuk kembali bersikap berlebihan.

4. Menjelaskan perilaku negatif

Segera luruskan contoh-contoh negatif yang anak petik dari lingkungannya. “Kakak kalau marah jangan banting mainan ya. Itu enggak baik. Kalau Kakak ingin sesuatu  bilang saja baik-baik ke Mama!”