Nakita.id.- Kriptorkismus, misalnya, adalah kelainan proses penurunan testis ke dalam kantung zakar (skrotum) ini, bisa membuat anak mengalami problem berkemih, seperti: posisi berkemih yang tidak biasa, celana yang selalu terkena air kemih. Bahkan, bisa menimbulkan problem sosial, semisal, anak kerap diejek teman-temannya karena celananya sering basah saat pipis.
“Lainnya, tidak menutup kemungkinan menjadi penyebab fertilitas (gangguan kesuburan). Hal ini bisa terjadi karena bentuk penis dan lokasi lubang kencing yang tidak normal dapat mengganggu hubungan suami istri. Hal ini pun bisa membuat perubahan jumlah sel-sel penghasil sperma pada testis setelah usia 18 bulan,” jelas Dr.dr. Irfan Wahyudi, SpU(K) dari RS Siloam Asri Jl. Duren Tiga Raya No.20, Jakarta Selatan
Oleh karenanya, saat kita dikarunia buah hati, khususnya laki-laki, jangan luput memerhatikan kondisi kelaminnya. Kemudian, lakukan pemeriksaan dini secara sederhana, semisal memerhatikan panjang penis, lokasi lubang kencing, bentuk penis, dan ada/tidaknya testis pada kantung zakar.
Baca juga: Cara Tepat Membersihkan Area Genital Bayi Laki-Laki
Meski hal itu umumnya sudah menjadi tugas dokter anak yang menangani kelahiran bayi, tak ada salahnya bila kita “mengingatkan” sang dokter ataupun bidan mengenai pemeriksaan tersebut.
Selanjutnya di rumah, kita bisa melakukan pemantauan sederhana. Misal, kala memandikan anak, raba alat kelaminnya, termasuk buah zakarnya.
Pada anak yang sudah lebih besar, ketika sudah bisa pipis secara mandiri, lihat bagaimana buang air kecilnya, apakah sempurna memancar ke depan atau sebaliknya atau merembes saja. Jika ditemukan hal-hal yang mencurigakan, segera hubungi dokter.
TIDAK MELULU HARUS OPERASI
Kelainan genital dapat ditangani dengan maksimal. Ada yang dapat diterapi secara hormonal, seperti pada kasus mikropenis; ada juga yang harus dilakukan tindakan operasi, semisal kelainan genital undescended testis, hipospadia, dan fimosis.
Intinya, penanganan kelainan genital pada anak harus memerhatikan tipe kelainan genital dan ketidaknormalan yang terjadi. Contoh, tindakan penanganan pada kasus hipospadia harus memerhatikan faktor usia dan besarnya penis. Kasus hipospadia biasanya baru dapat dilakukan tindakan operasi saat anak usia 6 bulan sampai 1,5 tahun.
Sedangkan pada kasus mikropenis, sebelum dilakukan tindakan harus diperhatikan dimana letak kesalahannya: apakah ukuran penisnya kecil, atau faktor produksi hormon testosteronnya yang kecil, atau karena faktor idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
Jika sudah ditemukan letak kesalahannya, baru dilakukan terapi, misal pemberian hormon dalam bentuk suntik dan krim. Jadi, tidak melulu harus operasi.
Rayakan Hari Ibu, Kecap Sedaap Ajak Masyarakat Masak Menu Kesukaan Ibu dengan Kemasan Edisi Spesial
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR