Kemudian menyangkut keterangan yang bersangkutan (pihak korban) bahwa katanya pelaku sampai melakukan kekerasan terhadap alat kelamin atau merusak alat vitalnya, persoalan secara hukum dia bisa saja mengklaim seperti itu.
Tetapi sekali lagi, secara hukum berdasarkan hasil visum yang dilakukan sesuai keterangan pihak kepolisian yang menyatakan negatif atau tidak ada kerusakan pada alat kelamin korban.
Artinya berdasarkan visum etvertum yang merupakan keterangan tertulis dari seorang ahli dalam hukum yang diakui kebenarannya.
Sebab nilai pembuktiannya adalah dari hasil visum itu, karena dilakukan seorang ahli dan dilakukan di atas sumpah jabatan.
Tinggal persoalannya bagaimana pihak pelaku dengan pemberitaan seperti ini dan mengaku bahwa dirusak alat kelamin dan sebagainya, pada satu sisi ingin mengatakan bahwa seakan-akan pelaku sedemikian kejam.
Padahal tidak ada, ini berdasarkan fakta hukum yang ada yaitu dengan hasil visum.
Nah ini hampir sama saja tu kasusnya, dengan kasus Ratna Sarumpaet, harusnya kalau kasus masalah perusakan alat kelamin korban mau diangkat lagi kepermukaan hukum bisa saja.
Ini sudah merupakan pembohongan publik karena hasil visum yang mempunyai kekuatan hukum tidak membuktikan adanya perlakuan seperti yang disebutkan korban.
Pemberitaan inikan menimbulkan seakan-akan perhatian publik yang sangat luar biasa, tapi di balik itu terjadi pembohongan publik yang juga luar biasa.
Makanya tinggal bagaimana proses penyidikan dan penyelesaian dari pihak penyidik. Penyelesaian kasus ini tinggal menunggu aparat penegak hukum melihat fakta-fakta yang ada dan pembuktian yang ada."
(Artikel ini pernah tayang di Tribun Pontianak dengan judul Penanganan Hukum Kasus Audrey Tunduk Pada UU Perlindungan Anak, Berikut Penjelasan Dr Hermansyah)
Source | : | Tribun Pontianak |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR