Nakita.id - Bencana kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah Indonesia masih jadi polemik hingga kini.
Kabut asap akibat kebakaran pun dikabarkan semakin meluas.
Akibatnya terjadi banyak masalah kesehatan hingga terganggunya mobilitas warga.
Pembatalan penerbangan hingga jarak pandang yang turun mengganggu aktivitas transportasi.
Bahkan baru-baru ini terjadi fenomena aneh yang menghebohkan publik.
Kabut asap kebakaran hutan dan lahan yang merambah wilayah Jambi ini mengakibatkan terjadinya langit merah.
Fenomena ini terjadi di Desa Pulau Mentaro, Kecemalan Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Langit merah Jambi ini dikabarkan terjadi pada Sabtu (21/9/2019) siang sekitar pukul 10.42 WIB hingga 14.00 WIB.
Potret langit merah ini pun banyak tersebar di media sosial.
Baca Juga: Al Ghazali Pamer Potret Mesra Malam Mingguan Bareng Alyssa Daguise, Balikan Lagi?
Apa yang sebenarnya menjadi penyebab perubahan warna langit ini?
Mengutip Kompas.com, Plt Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo Soetarno mengungkapkan bahwa warna merah terjadi karena pergerakan kabut asap dari titik api atau hotspot.
"Warna merah tersebut merupakan kabut asap yang bergerak dari hotspot yang ada di provinsi bagian selatan Provinsi Riau," ujar Agus saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (21/9/2019) malam.
Menurutnya, titik api ini sudah ada sejak pertengahan Agustus 2019.
Dari sisi astronomis, fenomena yang terjadi ini disebut fenomena Hamburan Rayleigh.
Astronom amatir Indonesia, Marufin Sudibyo menjelaskan bahwa fenomena langit berwarna merah bukanlah disebabkan tingginya suhu atau pengaruh api.
"Ini nampaknya fenomena Hamburan Rayleigh. Hamburan Rayleigh itu hamburan elastis pada cahaya oleh partikel-partikel mikro/nano di udara yang ukurannya lebih kecil dari panjang gelombang cahaya tampak," jelas Marufin saat dikonfirmasi terpisah Kompas.com, Sabtu (21/9/2019).
Marufin mengungkapkan bahwa fenomena ini umum dijumpai.
Pasalnya, fenomena Rayleigh ini menjadi penyebab langit berwarna biru pada siang hari dan memerah kala senja atau fajar.
"Dalam kasus Jambi ini, kepadatan partikel-partikel mikro/nano di udara nampaknya cukup besar sehingga lebih padat ketimbang konsentrasi partikel pada udara normal," terang Marufin.
"Karena lebih padat maka berkas cahaya Matahari yang melewatinya akan dihamburkan khususnya pada panjang gelombang pendek (spektrum biru dan sekitarnya) hingga medium (spektrum hijau dan sekitarnya)," tambahnya.
Sehingga, hanya menyisakan panjang gelombang panjang (spektrum merah dan sekitarnya) yang dapat menerus sampai ke permukaan bumi.
Hal itulah yang membuat langit tampak berwarna kemerahan yang terlihat seperti di Muaro Jambi.
Selain itu, Marufin menyampaikan bahwa mekanisme serupa dengan langit memerah yang cukup lama (dan tidak umum) dengan lama waktu berjam-jam sebelum terbenam matahari.
Misalnya, pasca terjadi letusan dahsyat gunung berapi seperti teramati pada kejadian pasca-letusan Krakatau pada tahun 1883 maupun Pinatubo pada tahun 1991.
Menurut penjelasan Marufin, adanya kejadian langit merah ini juga tidak berdampak gangguan kesehatan mata.
"Menurut saya enggak sampai pada gangguan mata. Karena ini hanya hamburan cahaya biasa.
Hamburan Rayleigh juga tergantung juga pada seberapa luas kepadatan besar dari partikel-partikel tersebut.
"Umumnya kalau makin dekat dengan sumbernya ya makin padat atau pekat. Hanya masih ada pengaruh angin yang juga menentukan," ungkap Marufin.
Source | : | Kompas.com,Instagram |
Penulis | : | Maharani Kusuma Daruwati |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR