Nakita.id - Tepat pada tahun 1943, rumah tangga Bung Karno dengan Inggit Karnasih resmi kandas.
Setelah itu Bung Karno pun mantap memperistri Fatmawati dengan cara yang tidak biasa.
Hal itu karena keduanya berada di pulau yang berbeda, Bung Karno di Jawa dan Fatmawati di Bengkulu.
Sehingga mereka harus menikah dengan cara perwalian.
Fatmawati menikah dengan wakil Bung Karno, Opseter Sarjono, pada 1 Juni 1943.
Setelah prosesi pernikahan itu, Fatmawati dibawa ke Jakarta.
Setelah menikah dengan Soekarno, menjadi Ibu Negara merupakan peran yang sangat berat dan penting bagi Fatmawati.
Ia harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan terpisah dari Bung Karno untuk menghindari penangkapan.
Dua hari menjahit, baru selesai ia menghabiskan waktunya menjahit bendera besar itu di ruang makan dengan kondisi fisik yang cukup rentan.
“Jadi saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab, dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit,” katanya.
Fatmawati baru menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih itu dalam waktu dua hari.
Bendera Merah Putih berukuran 2 x 3 meter itu akan dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Bendera yang dijahit Fatmawati itu menjadi Bendera Pusaka hingga saat ini.
Peran perwira Jepang di balik Merah Putih Keberadaan Bendera Pusaka itu berawal dari rencana seorang perwira Jepang bernama Shimizu untuk memenuhi 'janji kemerdekaan' dari Jepang bagi Indonesia.
Ia merupakan Kepala Bagian Propaganda Gunseikanbu atau pemerintah militer Jepang di Jawa dan Sumatera. Shimizu memosisikan diri sebagai orang yang pro-Indonesia.
Sikap pro-Indonesia Shimizu merupakan skenario yang ia mainkan sebagai kepala barisan propaganda.
Saat Bung Karno berkunjung ke kantor Shimizu di Gunseikanbu (sekarang kantor pusat Pertamina di Jakarta Pusat), Shimizu menginstruksikan anak buahnya bernama Chaerul Basri agar mencari rumah untuk Bung Karno.
Baca Juga: Jangan Sampai Kecolongan, Berikut Tanda-tanda Bayi Susah BAB yang Harus Moms Tahu
Chaerul pun melakukan pencarian dan menemukan rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini.
Bahan katun untuk Bendera Pusaka Rumah itu yang menjadi tempat bagi Fatmawati menjahit bendera Merah Putih sesuai permintaan Shimizu.
Waktu itu, sulit mendapatkan bahan kain untuk membuat bendera dengan ukuran yang besar.
Rakyat saja menggunakan pakaian yang terbuat dari bahan karung atau goni.
Situasi itu disebabkan oleh kelangkaan tekstil. Pada akhirnya Shimizu menginstruksikan seorang perwira Jepang mencari kain merah dan putih untuk diberikan ke Fatmawati.
Sang perwira yang ditugaskan berhasil membawa dua kain merah dan putih dari bahan katun yang halus.
Dua kain itu diperoleh dari sebuah gedung di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat, dan diantarkan oleh Chaerul ke Pegangsaan.
Tetesan air mata Fatmawati dan simbol nasionalisme Tetesan air mata Fatmawati merupakan ungkapan keharuannya atas perjuangan panjang rakyat Indonesia dan para pemimpinnya meraih kemerdekaan secara mandiri hingga tahap akhir.
Perjuangannya menjahit dua kain katun halus itu menunjukkan sumbangsih seorang perempuan Indonesia yang ikut memperjuangkan nasib bangsanya.
Fatmawati telah mengisi kepingan besar perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Bendera yang telah dijahit dengan susah payah dan tetesan air mata itu kini menjadi Bendera Pusaka sekaligus simbol nasionalisme yang selalu dibentangkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan ke depannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Fatmawati Teteskan Air Mata Saat Menjahit Merah Putih"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Rachel Anastasia Agustina |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR