Tabloid-Nakita.com - Tempat kursus calistung (baca-tulis-berhitung) semakin menjamur, akibat semakin banyaknya SD yang mensyaratkan kemampuan membaca dan berhitung sederhana pada calon murid kelas 1-nya. Mau tak mau, orangtua pun harus mengikuti aturan tersebut. Akibat keterbatasan waktu, akhirnya orangtua pun memasukkan anak-anaknya ke tempat kursus calistung.
Meskipun begitu, Mama sebaiknya tak perlu memaksakan agar anak mengikuti kursus calistung. Akan lebih baik bila belajar calistung dilakukan dengan metode learning by playing. Selain itu, ketahui apakah kondisi anak yang belum siap belajar baca-tulis:
1. Memegang alat tulis saja belum mantap
Wajar jika di usia ini, kekuatan jemari tangan dan kematangan dalam memegang alat tulis belum lagi mantap.
Stimulasi:
Di TK B (4-5 tahun) anak baru diajarkan memegang pensil. Setelah mantap memegangnya, baru diajarkan mencoret-coret dan mewarnai. Selain itu, ajak anak bermain congklak, ular tangga, kartu, membuat kue bersama, main lilin atau tanah liat, memeras kelapa, memerah sapi, atau membentuk pasir. Untuk berhitung, ajak anak naik turun tangga sambil menghitung.
2. Sering terjadi intervensi gadget di usia dini
Tanpa sadar, perkenalan anak dengan gadget di saat ia belum kuat dan matang dalam menggunakan jemari tangan, akan membuatnya kesulitan dalam menulis. Kursus calistung yang menggunakan komputer, sebaiknya hindari saja. Intinya, jangan menggunakan media yang sifatnya instan; anak tinggal mencet-mencet, lalu terlihat tulisannya. Kalau kita belajar grafologi, cabang psikologi yang mempelajari tulisan tangan seseorang, terlihat bahwa kepribadian dan karakter seseorang bisa tercermin dari tulisan tangannya.
Stimulasi:
Yang diperlukan adalah kesabaran dan kreativitas Mama. Kue buatan sendiri bisa dicetak menjadi huruf dan angka. Batu kerikil bisa disusun menjadi tulisan. Lalu Mama bisa berkata, “Wah, huruf A-mu sudah dimakan, ya?” atau “Ini kue yang diberi angka 1 buat Papa, ya?” Ajari anak mengancingkan baju sambil menghitungnya. “Coba Dek, kamu hitung, ada berapa kancingnya.”
3. Senang yang serbainstan
Biasanya, Mama Papa langsung bangga begitu tahu anak balitanya sudah bisa cepat membaca, menulis, atau berhitung. Ingin yang serbacepat atau instan menjadi ciri orangtua Generasi Y (kelahiran 1980-1990-an). Hal ini lantas menular pada anak-anak yang juga mau cepat-cepat dalam segala hal. Padahal ada yang harus dikuasai anak melalui pematangan kemampuan motorik (kasar atau halus) dan juga kognitif, yang tidak boleh diburu-buru kalau hasilnya mau optimal.
Jangan lupa, tumbuh kembang seorang anak mengikuti aturan main tertentu. Kita tidak bisa meloncatinya begitu saja. Loncatan sering kali malah menimbulkan tekanan atau stres pada anak.
Stimulasi:
Ikut kursus apa pun, seperti calistung dengan metode yang menyenangkan, boleh saja dilakukan. Pada waktunya, seorang anak akan bisa membaca, menulis ataupun berhitung tanpa menyertakannya pada kursus.
Yang penting, jangan lupa perhatikan juga kondisi anak yang belum siapa belajar baca-tulis, ya Mam.
Narasumber: Dra. Gerda K. Wanei, MPsi, Staf Pengajar Fakultas Pendidikan dan Bahasa Universitas Atmajaya, Jakarta
(Gazali/Irfan/Saeful/Santi/Heni)
KOMENTAR