TANYA:
Saya ibu dari 2 putra (7 dan 5) yang bekerja. Ayah dan Ibu beda pola asuh, mungkin itulah kami. Begini, antara saya dan suami terdapat perbedaan cukup besar dalam mendidik anak. Kalau anak berbuat salah, cukup saya tegur karena tahu mereka masih anak-anak. Tapi suami saya tak cukup sabar. Jika anak-anak melakukan kesalahan dia suka membentak dan mengeluarkan kata-kata kasar walaupun tidak memukul. Saya ingin suami bisa lebih sabar menghadapi anak-anak. Bagaimana caranya, Bu? Karena anak-anak kalau bapaknya pulang kantor lebih suka main dan belajar di kamar. Tidak mau keluar karena takut dimarahi. Mohon petunjuk Bu Mayke.
Dian – Pekalongan
JAWAB:
Ayah dan Ibu beda pola asuh harus dilihat konteksnya. Benar sekali, anak perlu ditegur apabila berbuat hal yang tidak benar, tetapi caranya bukan dengan membentak apalagi mengeluarkan kata-kata kasar sebab bisa membuat anak ketakutan dan meniru tingkah laku yang buruk. Akan tetapi, sebaiknya Ibu Dian tidak membela anak-anak ketika ayahnya memarahi anak-anak. Sebab mereka semakin sadar ibunya membela mereka sehingga semakin tidak suka pada ayahnya. Akibatnya, anak-anak dengan mudah akan selalu mencari perlindungan dari ibu, lari dari tanggung jawab; sedangkan ayah tersinggung harga dirinya sehingga akhirnya suami-istri terlibat dalam pertengkaran yang tidak layak disaksikan oleh anak. Kalau sampai terjadi apa-apa di antara kedua orangtuanya, anak merasa bersalah dan menganggap diri mereka yang menjadi sumber pertengkaran orangtua. Selain merasa bersalah, mereka pun merasa tidak tenang hatinya/cemas menyaksikan kedua orangtuanya bertengkar.
Ibu boleh mengingatkan ayah saat hanya berdua dengan dia, dengan syarat pembicaraan dilakukan ketika emosi suami dan Ibu Dian sedang positif. Kemukakan pada suami alasan kenapa tidak perlu menegur anak dengan bentakan yang menggelegar, apalagi kata-kata kasar yang bisa menurunkan harga diri dan kepercayaan diri anak. Selain itu perlu mencari tahu, apa yang menyebabkan suami bertingkah seperti itu, apakah sudah menjadi karakternya atau ada kejadian di rumah/di kantor yang membuatnya kecewa berat sehingga dilampiaskan pada anak-anaknya? Saya pun bertanya-tanya, bagaimana kondisi hubungan suami-istri saat ini? Sepertinya Ibu Dian dan suami membutuhkan bantuan ahli. Apabila di Pekalongan tidak ada psikolog yang menangani orang dewasa, bisa berkonsultasi ke orang yang dituakan atau tokoh agama yang bisa diandalkan keahliannya.
Agar hubungan anak-anak dengan ayahnya lebih dekat, usahakan di waktu senggang dan akhir minggu/libur melakukan kegiatan bersama berupa permainan, seperti permainan bola, bulu tangkis, bersepeda, berenang atau memainkan permainan ular tangga, halma, ludo, kartu, domino, monopoli atau lainnya. Biasanya ketika bermain, situasi akan lebih relaks sehingga hubungan lebih mencair. Sesekali ketika permainan berlangsung, biarkan anak-anak yang memenangkan permainan dan sesekali orangtua yang memenangkannya. Ketika anak tidak mau kalah dan berbuat curang, tidak usah menghukumnya dengan mengatakan “kamu curang”, tetapi cukup memberikan masukan bahwa anak takut kalah sehingga melanggar aturan main. Nyatakan bahwa kalah dan menang menjadi bagian dari suatu permainan.
Dengan demikian, Ibu perlu menjadi penengah, jangan sampai hubungan ayah dengan anak-anak semakin tegang. Kunci masalah terletak pada faktor pribadi suami-istri dan hubungan antar pasangan, sehingga hal ini yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Sekian dulu dan semoga Ibu Dian bisa mencari bantuan seseorang di Pekalongan sehingga Ibu beserta suami mampu menangani masalah ini. Salam hangat. Semoga ayah dan ibu beda pola asuh dapat dihindari.
Asuhan:
Dra. Mayke S. Tedjasaputra, MSI.
Play Therapist dan Psikolog
KOMENTAR