Tabloid-Nakita.com - Seorang rekan mengatakan, sehati-hatinya orangtua menjaga agar anaknya tidak jatuh dengan kepala membentur ke lantai, suatu saat dia pasti akan jatuh dan terbentur juga. Cedera kepala pada anak pun tidak terhindarkan. Betulkah demikian? Mama pernah mengalaminya?
Jatuh adalah penyebab utama cedera yang tidak fatal pada anak semua usia, dan menjadi penyebab nomor satu cedera kepala pada anak di bawah 9 tahun, demikian menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Cedera kepala pada anak umumnya terjadi berulangkali pada anak-anak di bawah 4 tahun, bahkan atlet muda mengalami gegar otak ringan hingga berat secara rutin.
Tidak diketahui seberapa besar kemungkinan anak yang terbentur kepalanya akan mengalami gegar otak. Kebanyakan orang beranggapan bahwa gegar otak hanya berupa benjolan di kepala, dan berasumsi kondisinya akan baik-baik saja, kata Carol DeMatteo, profesor klinis untuk terapi okupasi di School of Rehabilitation Science di McMaster University, Hamilton, Ontario.
Dalam kenyataannya, gegar otak secara teknis merupakan cedera otak traumatik, meskipun tidak serta-merta berarti akan ada kerusakan permanen. "Meskipun cederanya ringan, waspada dan amati anak Anda," kata DeMatteo.
Terjadinya cedera kepala pada anak
Cedera kepala pada anak memang sangat besar kemungkinannya, karena mereka banyak bergerak. Anak-anak juga kerap menguji batasan-batasan mereka. Mereka berlari, berguling, memanjat, bergelantungan, dan kemudian kehilangan keseimbangan. Tak jarang, mereka jatuh hingga bercucuran darah.
Kebanyakan cedera kepala pada anak terjadi secara instan. Misalnya, mereka jatuh setelah berlari sekuat tenaga di taman tanpa memerhatikan ke mana arah mereka berlari atau siapa yang berlari ke arah mereka. Mereka jatuh dari sepeda karena terantuk batu, atau terjungkal di tangga karena tidak dapat mengira-ira seberapa jauh jarak anak tangganya.
Namun saat ini para dokter meminta orangtua meningkatkan kewaspadaan mengenai kondisi yang disebut second impact syndrome (sindrom dampak kedua). Riset menunjukkan, jika seorang anak mengalami cedera kepala lagi sebelum cedera pertama pulih sama sekali, maka cedera kedua dapat memberikan dampak yang lebih lama. Dalam beberapa kasus, sindrom dampak kedua ini bisa berakibat fatal.
Riwayat cedera atau pemeriksaan lanjutan setelah adanya cedera kepala pada anak akan memberikan dokter pegangan untuk menduga terjadinya cedera yang lebih serius. Bisa saja anak harus melakukan CT Scan untuk mengetahui tipe cedera otak traumatik yang lebih jarang seperti subdural hematoma. Yaitu ketika darah menumpuk di antara permukaan otak dan dura (lapisan paling keras yang membungkus otak terluar).
Sedangkan cedera dengan tingkat kecil adalah epidural hematoma, di mana darah berkumpul di antara tulang dan dura. Kondisi inilah yang terjadi pada aktris Natasha Richardson, yang meninggal pada tahun 2009, saat kepalanya terbentur setelah jatuh dari main ski. Pada awalnya ia tampak baik-baik saja, sehingga ketika akhirnya dilakukan scan untuk mengetahui apakah ia mengalami hematoma, semuanya sudah terlambat.
Apabila CT Scan menunjukkan perdarahan di dalam kepala, dokter akan melakukan tindakan operasi untuk mengurangi tekanannya. Meskipun hematoma bisa mematikan, namun sebenarnya mudah diatasi oleh ahli saraf yang berpengalaman, asalkan lebih cepat diketahui. Itu sebabnya Mama perlu ke dokter jika ada tanda-tanda cedera kepala pada anak setelah ia jatuh.
(Dini/Parents)
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
KOMENTAR