TANYA:
Salam kenal, Bu Mayke. Saya ayah dari dua anak. Anak kedua, perempuan berusia 16 bulan. Sejauh ini tumbuh-kembangnya baik. Hanya ada kendala, ia tak mau ditinggal. Bahkan, sekadar ditinggal ibunya ke dapur saja, ia langsung menangis. Saya perhatikan, ia kok jadi mudah takut kalau ditinggal, sebelumnya ia tidak bersikap begitu.
Hal ini bermula ketika saya pergi ke luar kota selama satu minggu. Waktu itu sebelum pergi saya berpamitan pada istri dan juga anak-anak. Apa mungkin karena sempat ditinggal beberapa lama sehingga ia bersikap seperti itu? Selama ini yang ia ketahui, kalau saya pergi pagi, malam sudah ada di rumah.
Nah, sejak kepulangan saya beberapa hari itu, ia jadi mudah rewel kalau ditinggal. Maunya didampingi terus. Alhasil, kami jadi merasa repot juga kalau hendak melakukan sesuatu. Yang ingin saya tanyakan, kenapa si kecil bersikap seperti ini ya, Bu? Apa yang harus kami lakukan? Terima kasih banyak, Bu Mayke atas atas jawaban dan masukannya. Salam.
Bambang Wisanggeni - via e-mail
JAWAB:
Salam kenal Pak Bambang. Belakangan ini putri Bapak tidak mau ditinggal oleh ibunya, walaupun hanya untuk waktu yang singkat, padahal sebelumnya tidak ada masalah. Mengapa demikian?
Pengalaman ditinggal oleh ayahnya selama seminggu bisa saja membekas pada anak, apalagi bila hubungan anak dengan ayahnya cukup dekat. Lagi pula sebelumnya dia tidak pernah mempunyai pengalaman ditinggal oleh ibu atau ayahnya dalam waktu lebih dari satu hari. Alhasil, dia merasa cemas bila ditinggal oleh ayah atau ibunya, sebab dia mengasosiasikan bahwa kalau ditinggal ayah, maka ibu pun suatu saat akan meninggalkannya.
Kejadian yang Bapak alami dengan sang putri, lumrah saja, mengingat ia masih berada pada masa "kecemasan berpisah dari orangtua", yang biasanya akan mereda pada usia 3 tahun. Selain itu dari segi kepribadian, saya menduga putri Bapak termasuk anak yang sensitif sehingga perubahan yang terjadi pada situasi rumah/kehidupannya sehari-hari akan segera dia rasakan dan membekas dalam dirinya.
Dalam rangka mengatasi kecemasan berpisah, maka Ibu dan Bapak bisa memulainya lagi untuk membuktikan pada anak bahwa sekalipun "menghilang" untuk beberapa saat, Ibu dan Bapak akan kembali lagi. Caranya, ketika Ibu akan melakukan kegiatan di tempat lain (di dapur, kamar mandi, dan lainnya), bisa memberi tahu pada si kecil bahwa Ibu akan ke dapur untuk mengambil penganan. Apabila si kecil menangis, Ibu tidak usah segera menghampiri. Selesai dengan kegiatan di dapur, Ibu kembali lagi dan segera hampiri anak serta menenangkannya; kemudian katakan, Ibu hanya pergi sebentar untuk menyiapkan makanan anak.
Pengalaman ini bisa dilakukan berulang kali sampai akhirnya anak tidak merasa cemas lagi walaupun ditinggal sebentar oleh ayah dan ibunya. Saya menduga, ketika dia masuk sekolah, akan muncul lagi kecemasan berpisah dari orangtuanya. Oleh karena itu, sejak sekarang sering-seringlah mengajak anak bertemu dan bermain bersama dengan anak-anak lain yang sebaya agar dia tahu bahwa selain ayah dan ibunya, dia bisa berhubungan dengan orang lain.
Suatu saat, bila Bapak ada keperluan ke luar kota lagi, seperti biasa berpamitan dengan anak dan ketika kembali segera hampiri anak dan mengatakan bahwa Bapak kangen padanya. Terima kasih, Pak Bambang, saya senang sekali bila ada ayah yang mau bertanya melalui rubrik tanya jawab dengan psikolog.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
KOMENTAR