Tabloid-Nakita.com - Dalam teknologi kedokteran, pasangan yang memiliki masalah ketidaksuburan kini dapat mengatasinya dengan menjalani program inseminasi buatan atau bayi tabung. Selain memperbesar peluang untuk hamil, proses inseminasi maupun bayi tabung memungkinkan Mama untuk memilih jenis kelamin bayi.
Dalam proses Diagnosa Genetik Pra-Implantasi (PGD) dari program bayi tabung, beberapa telur dibuahi di luar rahim, dan masing-masing diuji untuk menentukan jenis kelaminnya. Hanya embrio dengan jenis kelamin yang diinginkan dan sudah dibuahi yang ditanamkan kembali ke dalam rahim.
"PGD sejauh ini merupakan teknik paling efektif dan akurat secara ilmiah untuk memilih jenis kelamin bayi, karena memberikan akurasi hampir 100 persen," papar Profesor Michael Chapman, Spesialis Fertilitas Senior di IVF Australia. “Teknik-teknik ilmiah lain hanya memiliki tingkat kesuksesan 50-70 persen, tapi mungkin mengklaim memiliki kesuksesan lebih tinggi pada website-nya."
Masalahnya, etiskah memilih jenis kelamin bayi, apalagi jika mengingat pasangan seperti ini sebelumnya mengalami masalah ketidaksuburan? Bolehkah peluang memilih jenis kelamin bayi juga diberikan untuk pasangan sehat yang sekadar ingin mendapatkan pilihan sosial, dan bukan karena kebutuhan medis?
Mereka yang setuju dengan kemungkinan memilih jenis kelamin bayi berpendapat bahwa hal itu bisa memberikan keseimbangan jender untuk keluarga-keluarga yang memiliki jumlah anak dengan jenis kelamin tertentu yang tidak proporsional. Misalnya, punya anak tiga dan semuanya laki-laki. Di negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Inggris, Amerika, Canada, dan Eropa, keseimbangan jender adalah alasan utama di balik keinginan untuk memilih jenis kelamin bayi.
"Saya melihat sekitar 400 pasien baru dalam setahun di klinik fertilitas saya, dan 10-15 dari mereka ingin meminta seleksi jenis kelamin," ujar Profesor Chapman. Menurutnya, hampir semua dari permintaan itu didasari keinginan untuk mendapatkan keseimbangan jender.
Di negara-negara lain di mana tradisi dan persepsi budaya menuntut lebih banyak bayi berjenis kelamin laki-laki, kemungkinan untuk memilih jenis kelamin bayi akan membantu mencegah aborsi atau pembunuhan bayi perempuan.
Bagi yang tidak setuju, seleksi jenis kelamin justru berpotensi mengembangkan ketidakseimbangan jender pada skala yang lebih besar. Contohnya, dulu kebijakan satu anak di China menghasilkan terlalu banyak anak laki-laki dan terlalu sedikit kaum perempuan pada generasi dewasa. Akibatnya, terjadi isu sosial yang besar.
Kemudian, program bayi tabung sendiri butuh biaya besar, sehingga hanya kalangan berada yang mampu mendapatkan perawatan tersebut. Padahal, potensi bayi tabung untuk menghasilkan kehamilan tidak 100 persen.
Nah, bagaimana jika kelak teknologi semakin berkembang sehingga manusia bisa mendesain bayi dengan karakteristik fisiologis yang diinginkan, seperti mata biru, rambut pirang, dan lain sebagainya? "Argumentasinya, kita akan terlalu banyak mencampuri alam," tukas Profesor Chapman.
(Dini/Kidspot)
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
KOMENTAR