Tabloid-Nakita.com - Masa balita atau prasekolah (preschool) merupakan suatu masa transisi dari bayi ke masa kanak-kanak. Banyak orangtua mulai membeberkan beragam keluhan tentang perilaku anak balita mereka. Di situ kita dan buah hati sama-sama menghadapi beragam tantangan yang lebih kompleks dibanding saat ia masih bayi atau batita.
Pada masa balita, anak mulai mencoba unjuk diri. Ia juga merasa sudah mampu dan merasa bisa menawar ini-itu, plus berkata "tidak". Jadilah kita terkaget-kaget dengan perubahan perilaku anak. Yang tadinya manis, nurut, kok jadi susah dikasih tahu dan membantah. Anak tak hanya pandai meminta ini-itu tapi juga "bersilat lidah", dan bisa secara ekspresif mengungkapkan apa yang dirasakan. Hal ini terkait dengan semakin meningkatnya kemampuan berbahasa anak.
Jadi, harap bersiap-siap mendapat banyak "gesekan" dengannya. Namun "gesekan" yang terjadi pada rentang usia (3-5 tahun) ini justru memudahkan kita untuk membentuk seperti apa perilaku yang baik dan benar, sekaligus sebagai dasar pola perilaku anak nantinya. Lebih baik "gesekan" ini terjadi pada periode balita, daripada terjadi nanti saat anak beranjak remaja. Karena di usia balita, kita akan lebih mudah mengingatkan anak, memberi penjelasan sederhana, serta mengubah perilakunya, ketimbang saat ia remaja.
Nah, berikut masalah perilaku anak balita yang umum terjadi:
1. Berbohong. Sebenarnya anak tidak bermaksud berbohong. Ia hanya belum bisa membedakan kenyataan dan fantasi, mana yang nyata dan mana yang tidak. Karena itulah, di usia 3-5 tahun anak senang bermain pura-pura dan cenderung percaya pada apa yang dilihat di TV, film, atau buku. Ia percaya kalau tikus bisa berbicara, superhero bisa terbang, dan seterusnya. Saat kita mendengarkan ceritanya dan menuduh ia berbohong, akan akan semakin bingung. Untuk itu jangan serta-merta menilai apa yang ia katakan, namun cobalah dorong ia untuk berkata sebenarnya.
2. Merengek. Anak merengek biasanya saat tak mendapatkan suatu keinginan. Ia berpikir dengan merengek, ia dapat memaksa kita mengubah pikiran. Untuk yang ini, kuncinya adalah konsistensi. Apa pun jurus yang ia lakukan, bila kesepakatannya memang tidak, tetaplah pada pendirian kita. Si kecil cukup lihai, bila ia melihat celah orangtuanya cepat luluh dengan rengekan, ia akan selalu memanfaatkan itu.
3. Bicara seperti bayi. Si balita bicara seperti bayi umumnya karena berusaha mendapatkan perhatian atau stres ketika menghadapi momen besar, seperti hari pertama masuk sekolah. Sama seperti menghadapi rengekan si kecil, cobalah untuk tetap memberi batasan dan mengabaikan perilaku ini. Jika kita terlalu memerhatikan perilaku anak balita ini, bukan tak mungkin kebiasaan bicara seperti bayi ini terus berlanjut hingga anak besar dan menjadi pengalihan saat anak berada dalam situasi tidak nyaman.
4. Membantah. Mendengar si balita bilang "tidak" memang tak terdengar seperti sebuah bantahan, malah terlihat lucu mengingat di balik tubuh kecilnya tersimpan keinginan untuk mandiri yang begitu kuat. Pasti sering terjadi setiap hari, dan anak cukup penasaran ingin tahu apa yang terjadi jika ia tak mau menuruti apa kata ayah ibunya. Sama seperti di atas, kuncinya adalah konsisten berdisiplin dan tanggapi dengan tenang bantahan si kecil. Jika kita bersikap reaktif, hal itu malah mendorong anak untuk berlaku demikian. Karena ia bisa menyadari, perilaku mana yang sukses merebut perhatian kita.
5. Agresi. Kebanyakan balita sudah mampu mengatasi temper tantrum-nya, tetapi masih kesulitan mengatasi sikap reaktif untuk mencegah perilaku agresif. Karena itulah masih sering kita temui si kecil memukul, menendang, atau menggigit orang lain saat merasa kesal atau malah gemas pada temannya.
Menghadapi hal itu, cobalah tetap tenang dan tidak marah-marah atau malah balik memukul, mencubit, atau menjewer. Jika anak bertindak agresif, bawa ia menjauh dari teman yang dipukuli atau ditendangnya. Biarkan anak berdiam diri hingga tenang, baru ajak bicara pelan-pelan, seperti menanyakan mengapa ia memukul si teman. Setelah situasi lebih tenang, ajak ia meminta maaf pada kawannya itu. Selain itu, ajari anak cara memecahkan masalah dengan sederhana dan bantu ia mengekspresikan perasaannya. Dengan demikian ia belajar mengungkapkan perasaannya dengan kata, bukan dengan perilaku seperti melempar sesuatu, memukul, atau menendang.
Semoga Mama dan Papa siap menghadapi perilaku anak balita yang penuh gesekan ini, ya. Karena pada masa inilah, pentingnya peran orangtua tak hanya sebagai teman bermain, tetapi juga pemandu yang memberinya panutan baik.
Penulis: Anindita Subawa, SPsi
Dorong Bapak Lebih Aktif dalam Pengasuhan, Sekolah Cikal Gelar Acara 'Main Sama Bapak' Bersama Keluarga Kita dan WWF Indonesia
KOMENTAR