Nakita.id - Baru-baru ini, istilah "Jam Koma" menjadi viral di kalangan Gen Z di media sosial, menimbulkan keingintahuan banyak orang mengenai makna dan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini mencerminkan kebiasaan generasi muda yang memiliki hubungan unik dengan waktu dan kebiasaan multitasking.
Namun, menariknya, konsep "Jam Koma" juga memiliki hubungan yang erat dengan fungsi otak manusia, terutama dalam hal produktivitas, manajemen waktu, dan cara otak mengelola istirahat dan kerja.
Secara sederhana, istilah "Jam Koma" mengacu pada periode waktu dalam sehari di mana seseorang merasa sangat tidak produktif, lesu, dan kurang fokus.
Ini biasanya terjadi di tengah hari, sering kali setelah makan siang, ketika energi dan motivasi menurun drastis.
Gen Z menyebutnya sebagai "jam koma" karena kondisi ini membuat seseorang merasa seperti kehilangan kemampuan untuk bekerja atau berpikir secara efektif, seolah-olah mereka berada dalam keadaan setengah sadar, seperti koma.
Waktu spesifik di mana seseorang mengalami "jam koma" dapat bervariasi, tetapi biasanya berkisar antara pukul 12 siang hingga 3 sore.
Ini adalah saat di mana otak mulai mengalami kelelahan mental setelah bekerja keras di pagi hari, dan tubuh pun mulai menuntut istirahat.
Generasi Z, yang dikenal sangat adaptif terhadap teknologi dan memiliki kemampuan multitasking yang tinggi, sering kali terjebak dalam pola kerja dan belajar yang intens.
Mereka cenderung terpapar banyak rangsangan dari media sosial, informasi, dan tugas akademik atau profesional yang menuntut perhatian terus-menerus.
Pola hidup semacam ini dapat membuat mereka lebih cepat merasa lelah mental, yang akhirnya berujung pada periode "jam koma."
Baca Juga: Manfaat Tidur Siang 1 Jam yang Disepelekan, Coba Cek Kesehatan Jantung
Di era digital ini, Gen Z juga sangat mengandalkan produktivitas dalam waktu singkat, dan ketika mereka merasa tidak produktif, hal itu bisa menimbulkan frustrasi.
Oleh karena itu, "jam koma" menjadi fenomena yang relevan bagi mereka, karena mewakili saat-saat ketika mereka merasa kehilangan kendali atas kemampuan mereka untuk bekerja atau belajar secara efektif.
Secara biologis, otak manusia memiliki siklus alami yang disebut ritme sirkadian, yaitu jam biologis yang mengatur siklus tidur dan bangun.
Dalam ritme sirkadian ini, ada dua periode utama di mana tubuh mengalami kelelahan secara alami: pertama, di malam hari ketika kita biasanya tidur, dan kedua, pada tengah hari, sekitar pukul 1 hingga 3 sore—tepat saat banyak orang mengalami "jam koma."
Selama periode ini, tubuh secara alami mengirimkan sinyal untuk beristirahat.
Otak yang telah bekerja keras di pagi hari mulai mengalami penurunan fungsi kognitif, dan produksi hormon melatonin (hormon tidur) mulai meningkat, membuat kita merasa mengantuk atau lesu.
Bagi banyak orang, ini adalah saat mereka cenderung merasa "koma", atau kehilangan produktivitas dan fokus.
Selain itu, pola makan juga memengaruhi kondisi ini.
Setelah makan siang, terutama jika makanan yang dikonsumsi tinggi karbohidrat, kadar gula darah dalam tubuh akan melonjak, diikuti dengan penurunan cepat, yang menyebabkan perasaan lelah dan kurang energi.
Ini memperburuk kondisi "jam koma" dan membuat seseorang semakin sulit berkonsentrasi.
Meskipun "jam koma" adalah bagian alami dari ritme tubuh, ada beberapa strategi yang dapat membantu mengatasinya, terutama bagi Gen Z yang sangat bergantung pada produktivitas tinggi:
Baca Juga: Sampai Umur Berapa Anak Harus Tidur Siang Demi Tumbuh Kembang Optimal?
Pola makan yang seimbang sangat penting untuk menjaga energi sepanjang hari.
Mengonsumsi makanan tinggi protein dan serat, serta menghindari makanan yang mengandung banyak karbohidrat sederhana, dapat membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil dan mencegah kelelahan.
Istirahat pendek selama 5-10 menit setiap 90 menit kerja dapat membantu otak memulihkan diri.
Teknik ini dikenal sebagai Pomodoro Technique, di mana seseorang bekerja selama periode waktu tertentu, kemudian beristirahat sebentar untuk menyegarkan otak.
Tidur siang singkat selama 15-20 menit di tengah hari dapat membantu mengembalikan energi dan meningkatkan fokus. Tidur siang yang lebih lama justru bisa menyebabkan perasaan lelah dan kebingungan setelah bangun.
Berjalan kaki atau melakukan peregangan ringan dapat meningkatkan aliran darah ke otak dan membantu mengatasi kelelahan.
Aktivitas fisik yang singkat namun efektif dapat memberi dorongan energi yang diperlukan untuk menghadapi sisa hari.
Kurang minum air dapat memengaruhi fungsi otak dan menyebabkan kelelahan.
Memastikan tubuh terhidrasi dengan baik sepanjang hari dapat membantu menjaga energi dan fokus tetap optimal.
Mengalami "jam koma" secara terus-menerus tanpa penanganan yang tepat dapat berdampak pada kesehatan mental.
Jika otak terus dipaksa bekerja tanpa istirahat yang cukup, hal ini dapat memicu burnout, yaitu kondisi kelelahan mental dan emosional yang berkepanjangan.
Bagi Gen Z yang sering terjebak dalam siklus multitasking dan tekanan untuk selalu produktif, burnout menjadi risiko yang nyata.
Oleh karena itu, penting untuk mengenali batasan diri dan memberikan waktu yang cukup bagi tubuh dan otak untuk beristirahat.
Mengelola waktu dengan baik dan memberikan perhatian pada kesejahteraan mental sama pentingnya dengan produktivitas itu sendiri.
"Jam koma" bukanlah fenomena baru, tetapi istilah ini menjadi populer di kalangan Gen Z karena relevansinya dengan gaya hidup mereka yang dinamis dan serba cepat.
Meskipun kondisi ini alami, pemahaman tentang ritme sirkadian dan cara mengelola waktu serta energi dapat membantu mengurangi dampaknya pada produktivitas dan kesehatan mental.
Dengan mengadopsi kebiasaan sehat seperti pola makan yang tepat, istirahat teratur, dan olahraga ringan, Gen Z dapat mengatasi "jam koma" dan menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan diri.
Baca Juga: Jam Tidur Siang yang Ideal Saat Anak Puasa, Sesuaikan dengan Kebutuhan Si Kecil ya Moms
Serunya Kegiatan Peluncuran SoKlin Liquid Nature French Lilac di Rumah Atsiri Indonesia
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Aullia Rachma Puteri |
KOMENTAR