Meski hampir semua anak pernah mengalami masalah susah makan, penyebabnya bisa beragam. Ada yang disebabkan faktor kelainan fisik, faktor psikologi, pola pengasuhan dan lingkungan, sakit yang tengah dirasakan, dan sebagainya. Orangtua harus bisa menemukan penyebab yang tepat, sebab beda penyebab beda pula penanganannya. Kadang tak mudah orangtua mengenali penyebab anak tak mau makan. Jika seperti itu kondisinya, orangtua memerlukan bantuan ahli.
Bentuk penolakan makanan umumnya berbeda-beda berdasarkan tahapan usia. Pada sebagian anak, penolakan ini mulai diperlihatkan ketika mereka mendapat makanan pendamping ASI (MPASI) di uisa 6 bulan. Makanan yang disuapkan akan dilepeh, disemburkan, atau diiamkan di dalam mulut. Bahkan tak sedikit anak yang mengunci mulutnya rapat-rapat. Penyebabnya bisa jadi orangtua terlalu buru-buru memberikan makanan semipadat dalam porsi banyak kepada bayi. Padahal makanan pendamping ini belum tentu dapat langsung diterima oleh anak yang selama ini makan makanan cair (susu).
Di usia 1-3 tahun problem yang dialami mungkin lain lagi, anak sedang senang-senangnya bereksplorasi. Alih-alih duduk diam dan makan, anak lebih senang bergerak ke sana-kemari. Di usia ini kemampuan kognitif anak jelas semakin berkembang, ia mulai bisa menentukan mana makanan yang disukai dan mana yang tidak, hal ini akan ditangkap orangtua sebagai bentuk pilih-pilih makanan.
Usia 3-5 tahun umumnya anak sudah mulai disekolahkan. Dari situ biasanya mereka mengenal kegiatan jajan di kantin yang menjual makanan dan minuman ringan, seperti kerupuk, keripik, permen, minuman bersoda, dan lainnya. Anak yang berpembawaan susah makan biasanya tak menolak jajanan tetapi menolak makanan utama yang rasanya tidak segurih atau semanis jajanan. Kondisi ini makin diperparah jika orangtua cenderung menuruti saja keinginan anak. “Daripada enggak mau makan sama sekali, biar deh, dituruti saja apa maunya,” begitu kebanyakan alasannya. Akibatnya anak sudah merasa kenyang saat diminta makan makanan rumah, padahal umumnya makanan warung tak memiliki gizi yang dibutuhkan.
Perilaku susah makan lainnya yang kerap ditunjukkan anak usia prasekolah adalah picky eater alias pilih-pilih makanan. Misalnya anak hanya semangat kalau minum susu, makan dengan mi instan, setiap hari maunya makan nasi dengan chicken nugget, bakso, atau sosis saja. Ada juga anak yang tak suka sayuran, atau maunya makan dengan lauk “seadanya”, seperti nasi dengan kecap dan kerupuk.
Apa pun bentuk penolakan dan penyebabnya, orangtua tetap perlu memperkenalkan tata cara makan yang sehat dan baik agar tumbuh kembang si kecil berjalan optimal. Dalam sehari anak harus mendapat cukup asupan karbohidrat, protein, lemak (ketiganya penting sebagai sumber energi dan zat pembangun tubuh), serta vitamin dan mineral yang berfungsi sebagai zat pengatur metabolisme tubuh. Jadi, anak-anak juga perlu mengetahui sejak dini, bahwa fungsi makanan tak sekadar membuat kenyang.
Lebih dari itu anak-anak akan belajar banyak dari kegiatan makan apabila orangtua menjadikannya sebagai sarana pendidikan tentang hidup sehat. Kemampuan mengunyah, menelan, memegang sendok, menyuapkan makanan, dan makan dengan teratur membutuhkan proses belajar yang tidak instan. Acara makan bersama biasanya mampu menggugah semangat anak untuk mau menyantap hidangan keluarga.
KOMENTAR