Pada prinsipnya batita belum memahami figur-figur yang sejatinya digolongkan sebagai keluarga. Kalau ditanyakan padanya, “Siapa keluargamu?” Mereka pasti bingung menjawabnya. Namun pertanyaan, “Kamu anak siapa, sih?” dapat mereka tanggapi dengan jawaban, “Bunda” atau “Ayah.” Begitu pun bila ditanya siapa ayah/bundanya, mereka sudah dapat mengacu pada figur ayah dan ibu atau bahkan sudah bisa menyebutkan nama kedua orangtuanya. Meski konsep keluarga baru sebatas figur terdekat, pengenalan tentang posisi dalam keluarga dapat dikenalkan lewat kegiatan sehari-hari, tanpa secara khusus mengajarkannya pada anak. Contohnya dengan mengatakan, “Ini Ibu datang!” pada saat ibu tiba di rumah dari bekerja. Pernyataan-pernyataan semacam itu sangat berguna untuk menanamkan konsep orangtua, yakni ayah dan ibu dalam keseharian anak.
Manfaat lainnya, batita dapat dengan cepat membentuk jalinan ikatan dengan anggota keluarganya. Apalagi sejak bayi hingga usia 2 tahunan anak tengah mengembangkan rasa aman dan kepercayaan pada lingkungan sekitarnya. Pembentukan ini penting untuk membantunya menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus menanamkan identitas melalui pemahaman peran dan rasa empati. Bila dilihat dari segi kecerdasan majemuk (multiple intelligences), pengenalan konsep keluarga pada anak lebih mengarah pada pengembangan kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Ini membantu anak untuk memahami dirinya, tahu identitasnya, keberadaannya di dalam kelompok, pemahaman peran, serta relasi sosial.
Meski pemahamannya masih tetap terbatas, tak ada salahnya untuk mulai memperkenalkan anggota keluarga lain di luar figur yang biasa ditemuinya. Beragam cara dapat orangtua lakukan dengan disesuaikan pada kemampuan dan pemahaman batita. Tentunya yang paling baik melalui pembiasaan.
* Mengenalkan anggota keluarga.
Kebanyakan keluarga Indonesia menanamkan rasa sayang atau hormat pada sesama anggota keluarga dengan membiasakan anak-anak memanggil “kakak (mas, mbak, uda, uni, aa, teteh, abang, dan sebagainya)” untuk saudara yang lebih tua atau “adik/dik” untuk saudara yang lebih muda. Kebiasaan ini juga bermaksud agar anak tahu bahwa di keluarganya ada anak lain yaitu kakak atau adik. Adakalanya, anak juga dikenalkan secara langsung pada figur anggota keluarga di luar keluarga inti ketika sedang berkunjung ke rumah nenek/kakek atau paman dan bibinya. Contoh, “Sini, dong, Eyang Putri kangen lo. Eyang Putri ini bundanya Papa.”
* Sering bercerita mengenai anggota-anggota keluarga.
Ceritakan mengenai kebiasaan-kebiasaan anggota keluarga serta keluarga besar yang pernah ditemui si batita seperti kakek dan neneknya. ”Adek enggak bisa setiap hari ketemu Kakek karena Kakek tinggal di Bandung.” Atau, “Kakak setiap hari harus belajar di sekolah. Nanti sore Kakak datang dan main lagi denganmu,” dan sebagainya.
* Bercerita lewat foto.
Di waktu luang atau ketika sedang menceritakan suatu pengalaman keluarga, tunjukkan foto sosok yang dimaksud kepada si kecil. Kenalkan lewat foto tersebut anggota keluarganya baik keluarga inti maupun keluarga besar. Ceritakan mengenai silsilah sederhana keluarga dengan menggunakan bahasa yang juga sederhana. Contohnya, “Ini Bunda, yang duduk di samping Bunda itu kakak Bunda, namanya Bude Sari. Di sebelah Bude Sari, ada adik Bunda. Namanya, Tante Linda.”
* Sering bertemu/berkunjung/bermain di lingkungan keluarga besar.
Anak juga perlu mengenal keluarga besarnya. Biasakan anak untuk sering berkunjung ke rumah kakek-neneknya, atau ajak anak ke acara-acara pertemuan keluarga agar ia bisa berinteraksi dengan sepupu-sepupunya. Hal ini akan mempererat hubungan kekeluargaan si anak dengan kerabatnya. Kelak anak mengenal dengan baik keluarga besar orangtuanya.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
KOMENTAR