Bisa dimengerti kalau keinginan batita untuk bereksplorasi dengan menaiki anak tangga yang rata-rata muncul di usia 2 tahunan kerap membuat orangtua waswas. Menaiki anak tangga, seberapa pun rendah ukurannya, menuntut koordinasi kerja otak yang cukup rumit. Tepatnya, anak harus tahu kapan memosisikan salah satu telapak tangan dan lutut yang kemudian berganti dengan telapak kaki di anak tangga yang lebih tinggi. Bagaimana posisi telapak tangan dan lutut ataupun telapak kaki juga menuntutnya "berpikir" mengoordinasikan otaknya agar tak jatuh terempas ke belakang.
Mengingat tuntutan yang cukup rumit ini bisa dimengerti kalau kemampuan menaiki anak tangga akan muncul sesudah anak terampil berjalan. Coba saja perhatikan, begitu jalannya tak lagi limbung, anak akan terdorong untuk menjadikan perabot rumah, undakan, tangga, dan sejenisnya sebagai sasaran utama untuk menjajal keterampilannya naik-naik.
Mengapa menapaki anak tangga pegang peran penting dalam tahap perkembangan anak? Tak lain karena kemampuan menapaki anak tangga ini merupakan ajang latihan yang sempurna bagi koordinasi visual motorik antara mata dengan kaki dan tangan. Banyak yang menganalogikan keterampilan menaiki anak tangga ini dengan merambat saat anak tengah belajar berjalan. Bedanya, merambat merupakan aktivitas berpindah tempat secara horisontal/mendatar dengan berpegangan pada sesuatu, sedangkan menaiki anak tangga merupakan aktivitas berpindah tempat secara vertikal.
Perbedaan lain, merambat merupakan satu tahap sebelum anak mampu berjalan sendiri tanpa berpegangan, sementara menapaki anak tangga merupakan kemampuan satu tahap setelah berjalan. Lebih lanjut, kemampuan menapaki anak tangga inilah yang kelak menuntun anak pada kebisaan untuk melompat dengan bertumpu pada kedua belah kakinya. Dengan kata lain, menapaki anak tangga lebih kompleks daripada rambatan dan berjalan namun lebih "sederhana" dibanding melompat.
KOMENTAR