Tabloid-Nakita.com- Anak adalah buah hati Mama dan Papa. Tidak usah heran, apa yang diminta akan selalu dikabulkan. Juga apa yang dituntut akan berusaha dipenuhi. Capek-capek kerja itu sebenarnya buat siapa sih kalau enggak buat anak,” Begitu kata orangtua.
Kalau ada permintaan si kecil yang sulit dipenuhi, rasanya sulit dilakukan. Apalagi kalau ia langsung merengek atau tiba-tiba kedua matanya yang lucu itu mulai berkaca-kaca. Enggak tega, begitu kan? Nah Tahukah Mama, kebiasaan memanjakan anak itu itu merupakan kebiasaan buruk. Sebab, selalu memenuhi keinginan anak memiliki dampak yang tidak baik.
Menurut Melissa Deuter, MD., pola anak meminta dan orangtua wajib memenuhi, membentuk gaya berkomunikasi yang terus terjadi hingga si kecil dewasa. Padahal, cara ini bisa membahayakan pembentukan karakter anak.
Anak yang selalu mendapatkan segala yang mereka minta, kata Deuter, membuat anak memiliki pribadi yang kurang daya saing dan menjadikan mereka tempramental. Ini karena anak selalu mendapatkan kemudahan.
Seiring waktu, hal-hal yang diinginkan itu tidak terpenuhi bisa memicu amarah si kecil sehingga dia memberontak, menangis, dan berteriak-teriak, tanpa memedulikan lingkungan sekitarnya.
“Pemikiran orangtua zaman sekarang adalah mereka bekerja untuk anak. Itu memang benar. Namun, tak mesti apa yang anak inginkan harus dipenuhi. Ingat juga mereka masih perlu biaya untuk sekolah dan kuliah,” urai Deuter.
Selain itu, ego orangtua zaman sekarang juga cenderung kompetitif terhadap orangtua lain. Tanpa mereka sadari, sifat yang demikian merugikan buah hati mereka. Deuter memberikan contoh tipe orangtua yang mengerjakan tugas sekolah anak supaya anak mendapatkan nilai terbaik.
“Orangtua semestinya membantu dan mengajarkan anak, bukan menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawab anak, berkaitan dengan tugas sekolah,” jelasnya.
Selanjutnya, Deuter mengatakan bahwa berkata “Tidak” pada anak-anak, bukan persoalan mudah pada sebagian orangtua. Namun, Deuter mengingatkan, kata “Tidak” bukan berarti tidak sayang, tapi bagian dari pola asuh positif untuk mental anak di masa depan.
“Banyak orangtua di sesi konseling keluarga tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan anak. Pendidikan merupakan kebutuhan anak yang patut dipenuhi orangtua, tapi mainan atau busana mahal adalah keinginan yang tidak prioritas,” tegas Deuter.
Lebih lanjut, Deuter mengisahkan pengalaman salah satu klien yang memiliki anak berpendidikan bagus tapi susah mencari pekerjaan yang layak.
Satu tahun setelah lulus kuliah, anak tersebut masih juga bekerja dengan profesi yang sama saat masa sekolah, yaitu menjadi pelayan restoran.
Akhirnya, orangtua yang menjadi klien Deuter, memberikan bantuan finansial untuk memudahkan anak membayar sewa tempat tinggal dan makan. Lalu, tiba waktu di mana orangtua merasa sudah tak sanggup lagi melakukan hal tersebut.
Apa yang terjadi? Anak hanya bisa mengeluh dan marah saat orangtua memintanya untuk lebih berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik.
Rekap Perjalanan Bisnis 2024 TikTok, Tokopedia dan ShopTokopedia: Sukses Ciptakan Peluang dan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital
KOMENTAR