Tabloid-Nakita.com - Secara garis besar ada 3 faktor penyebab terjadinya alergi makanan pada bayi, yakni faktor genetik, imaturitas sistem pencernaan, dan pajanan alergi yang biasanya dibarengi dengan faktor pencetus. Kalau salah satu orangtuanya menderita alergi, anak pun berisiko mewarisi alergi sekitar 30-40%. Sedangkan kalau kedua orangtuanya sama-sama alergi, risiko terkena alergi meningkat jadi 60-80%. Sementara bila tidak ada riwayat langsung dari kedua orangtuanya, anak akan menurunkan riwayat alergi dari kakek-nenek atau om dan tante sekitar 20%.
Berbeda dengan penyakit keturunan lainnya semisal talasemia, risiko alergi makanan pada bayi tidak mengenal gender. Dengan demikian, baik anak laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama terhadap alergi. Selain itu, bentuk alergi yang diturunkan tidak selalu harus sama. Kalau si ayah alergi terhadap debu, bisa saja bayinya alergi terhadap susu sapi dan bukannya alergi debu. Anak pun tak harus asma meskipun ibunya asma. Ini tak lain karena yang diturunkan adalah sifat alergi itu sendiri.
Secara teori, deteksi dini terhadap alergi makanan pada bayi sebetulnya dapat ditelusuri sejak masih dalam kandungan. Pasalnya, pajanan alergi merangsang produksi IgE (Imunoglobulin E) secara spesifik pada janin terhadap bahan-bahan tertentu, semisal kuning telur, putih telur, atau protein susu. Sayangnya, hingga saat ini belum ada cara yang praktis dan aman sekaligus ekonomis dengan biaya terjangkau untuk mengetahui gejala alergi sejak dini. Pada bayi bisa saja dilakukan tes alergi karena alergi biasanya berkaitan dengan meningkatnya Imunoglobulin E dan tingginya iosonofil (salah satu bagian darah putih). Hanya saja tes semacam ini biasanya dianjurkan dilakukan pada anak minimal berusia 2 tahun. Mengapa? Tak lain karena bila dilakukan semasa bayi, hasil yang ditunjukkan kurang akurat.
KOMENTAR