Si prasekolah suka menebar cerita horor, tapi setelah bercerita akhirnya ketakutan sendiri, bahkan tidak berani tidur sendiri. Apa yang sebenarnya diinginkan anak-anak ini. Kalau akhirnya malah ketakutan, mengapa harus menebar cerita seram? Hal ini tak lepas dari perkembangan kemampuan kognitif anak. Menurut ahli perkembangan anak, Piaget, pada usia 2-7 tahun anak berada dalam tahap perkembangan preoperasional. Pada tahap ini anak belajar menggunakan simbol-simbol mental untuk mengingat kejadian-kejadian ataupun objek-objek yang pernah dilihat atau didengarnya. Namun kemampuan mereka untuk memahami hal yang dilihat secara objektif masih terbatas, sehingga akhirnya bergantung pada daya imajinasi untuk lebih memahaminya. Salah satu bentuk imajinasi mereka adalah fantasi-fantasi tentang setan, hantu, monster, atau binatang buas yang merupakan simbol dari peristiwa atau objek yang menimbulkan rasa takut dalam diri anak.
Bukan perasaan bangga atau tepuk tangan teman-teman sebagai bentuk pujian atas keberaniannya yang diharapkan. Anak prasekolah sebenarnya sekadar ingin bersosialisai dengan cerita-cerita seramnya. Kalau temannya menunjukkan wajah ketakutan atau malah menimpali dengan cerita yang tak kalah seramnya itu hanya membuat semangatnya bertambah saat bercerita. Tapi apa pun reaksi temannya, ia merasa mendapat teman dengan melakukan hal tersebut. Reaksi ini sedikit berbeda bila ia bercerita pada orang dewasa. Sebab sudah pasti orang dewasa tidak akan menanggapi sebagaimana teman-temannya menanggapi cerita tersebut. Belum lagi kalau malah terlontar komentar, “Adek jangan ngarang ah! Masa ada monster di kamar mandi.” Reaksi seperti ini jelas tidak diharapkan anak dan membuatnya makin malas untuk bercerita lagi pada orang dewasa.
Kebanyakan anak laki-laki melakukan hal ini dan hanya sedikit anak perempuan yang melakukannya. Mengapa demikian? Ini tak lepas dari kecenderungan anak laki-laki yang lebih menyukai tantangan dan kompetisi. Anak laki-laki lebih banyak diekspos dengan film-film yang bertemakan pahlawan penakluk monster, binatang buas, atau hantu, sehingga ide cerita mereka mengenai hal tersebut lebih berkembangan dibandingkan anak perempuan yang lebih sering diekspos dengan cerita-cerita yang bertema princess.
Ide cerita bisa datang dari mana saja, tapi yang paling dominan saat ini adalah dari televisi. Apalagi televisi di Indonesia memang gemar menayangkan acara yang menggedor saraf ketakutan pemirsanya. Anak prasekolah akan menganggap apa yang ditontonnya adalah kejadinya nyata yang bisa saja suatu saat terjadi pada dirinya, termasuk cerita hantu atau monster yang tak masuk akal itu. Selain itu, buku bacaan, radio dan media lainnya pun berkonstribusi memberi ide cerita pada anak. Oleh sebab itu, sebaiknya orangtua minimalkan kesempatan anak untuk menyaksikan/mendengar/membaca cerita-cerita seram itu. Atau kalaupun tidak bisa, orangtua sebaiknya mendampingi anak dan memberikan penjelasan yang sebenarnya.
Kadang orangtua pun membuat blunder tentang hal-hal menyeramkan ini. Misalnya menakut-nakuti anak dengan mengatakan, “Kalau kamu tidak mau sikat gigi, nanti malam ada monster yang akan menggigit gigimu.” Atau “Kalau Adek tidak berhenti menangis, nanti hantu dari pohon itu akan datang. Hantu itu sangat suka anak kecil yang cengeng.” Cerita tentang monster si penggigit gigi atau hantu yang suka anak cengeng ini akan terus diingatnya. Bila ada kesempatan ia akan menceritakan pada teman-temannya.
KOMENTAR