Suatu harapan yang terpendam dapat menjadi penyebab anak melamun di tengah-tengah aktivitasnya. Namun tak hanya itu, beban pikiran yang terlalu berat pun dapat memicu anak berperilaku demikian. Anak yang kerap dimarahi, terlalu sering dilarang, dipaksa belajar yang tak sesuai dengan fase perkembangannya, anak yang tengah dijauhi temannya, merupakan beberapa contoh kejadian yang kerap membebani anak dan membuatnya menatap kosong sekelilingnya.
Ada penjelasan ilmiah yang menarik sehubungan dengan perilaku melamun ini. Dalam teorinya mengenai konsep otak dinamis (dynamic brain), Paul Mclain menyatakan, untuk mendukung suatu aktivitas agar berjalan baik, otak harus dalam keadaan seimbang. Seimbang dalam artian, otak bisa bekerja secara maksimal saat menerima stimulus yang masuk untuk kemudian diterjemahkan dalam sebuah perilaku yang baik, teratur, dan sesuai dengan harapan.
Contoh, anak tengah berada di antara teman-temannya yang sedang bermain. Dengan stimulus seperti itu, dalam keadaan normal (keadaan otak yang seimbang), anak akan memberikan respons berupa ikut aktif bermain dan bersenang-senang. Sebaliknya, dalam kondisi otak yang tidak seimbang, stimulus dari lingkungan yang berlangsung secara terus-menerus tidak bisa direspons dan dilanjutkan menjadi sebuah perilaku yang sesuai. Ketidakseimbangan inilah yang nantinya akan memunculkan dua kondisi:
Dalam bentuk fight, contoh perilakunya antara lain jalan atau lari mondar-mandir tidak karuan di dalam rumah. Yang lebih ekstrem misalnya merusak barang-barang, berteriak-teriak, atau menyakiti orang lain di dekatnya. Respons seperti ini umumnya dilakukan oleh anak dengan karakter aktif atau tidak bisa diam.
Sedangkan keadaan flight biasanya digambarkan dengan sikap melamun, menyendiri di kamar, atau kalaupun melakukan aktivitas, fokus pikirannya tidak di situ. Anak-anak yang berkarakter pasif, introver, umumnya berlaku seperti ini.
KOMENTAR