Nakita.id – Makanan transgenik memang ajaib. Makanan hasil rekayasa genetika ini bisa menjadi prodak unggulan.
Pasalnya semua prodak bahan makanan transgenik baik nabati amaupun hewani jauh lebih unggul hasilnya dari yang lain.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Begini Cara Mengatakan Bodoh, Malas, dan Nakal yang Benar Pada Anak
Tapi dibalik keunggulannya, prodak transgenik berisiko mengandung senyawa toksik (racun), alergen (pemicu alergi), dan telah mengalami perubahan nilai gizi.
Teknologi ini memang sempat menorehkan catatan buruk di Amerika.
Beredarnya suplemen kesehatan transgenik yang mengandung L-tryptophan pada tahun 1989 di negeri Paman Sam mengakibatkan 37 orang meninggal, 1.500 menderita cacat, dan 5.000 orang dirawat di rumah sakit akibat EMS (Eosinophilia-Myalgia Syndrome/sindrom dengan gejala nyeri otot yang parah dan disertai meningkatnya jumlah sel darah putih).
Dalam kasus ini, L-tryptophan dihasilkan dari fermentasi bakteri Bacillus amyloliquefaciens. Untuk meningkatkan produksi asam aminonya, perusahaan pembuatnya yaitu Showa Denko merekayasa gen bakteri Bacillus amyloliquefaciens tersebut.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Tak Disangka, Ucapan Orangtua Seperti Ini Akan Membentuk Anak Jadi Sombong
Pada saat bersamaan perusahaan asal Jepang ini juga mengurangi penggunaan karbon aktif yang diperlukan untuk penyaringan.
Ada ahli yang menyatakan, bakteri yang ditransfer mengalami reaksi sampingan, yaitu membentuk senyawa baru yang serupa dengan tryptophan tetapi dampaknya cukup mematikan bagi manusia.
Namun ada juga yang mengatakan EMS akibat tryptophan ini diakibatkan proses penyaringan yang tidak sempurna (akibat karbon aktif yang direduksi). Jadi bukan disebabkan penggunaan transgenik bakteri.
Mengenai hal tersebut, seperti yang diutarakan Purwiyatno Hariyadi, PhD, dari Seafast Center IPB-Bogor, "Sebenarnya pangan transgenik yang telah lolos pengujian akan sama amannya dengan produk sejenis yang bukan transgenik/alami."
Source | : | Tabloid Nakita |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR