Nakita.id – Moms mungkin pernah berpikir, bila seorang yang punya sifat empati tinggi dapat dipengaruhi oleh pola asuh orangtua ataupun pengalaman pribadi.
Hal itu memang benar, tapi mungkin bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam pembentukan sifat empati dalam diri seseorang.
Ternyata gen memainkan peran juga, menurut para ilmuwan dari Universitas Cambridge, Institut Pasteur, Universitas Paris Diderot, Pusat Nasional de la recherche scientifique (CNRS) dan perusahaan genetika 23andMe.
Baca Juga : Unik! Restoran Ini Sediakan Makanan Sehat Ala Warteg, Ini Dia Menunya
Temuan berasal dari studi genetika terbesar empati dengan 46.000 peserta yang merupakan pelanggan 23andMe.
Empati, sifat pemahaman emosional orang lain dengan menempatkan diri kita di posisi mereka, dikenal memiliki dua bagian: empati kognitif dan empati afektif.
Sementara yang pertama berkepentingan dengan mengenali perspektif dan perasaan orang lain, yang terakhir adalah kemampuan untuk merespons dengan emosi yang sesuai.
Baca Juga : Kerap Diabaikan, Waspada 5 Hal Ini Pengaruhi Kesehatan Ovarium
Studi telah menjelajahi empati dan menghubungkannya dengan manfaat kesehatan dan efek berbahaya.
Empathy Quotient (EQ) dikembangkan lima belas tahun yang lalu oleh para ilmuwan di Universitas Cambridge untuk mengukur empati pada orang dewasa.
Peserta studi baru menyelesaikan EQ dan juga memberikan sampel air liur mereka.
Tiga hasil utama muncul dari analisis gabungan dari tes dan sampel.
Hasil pertama dari tes menunjukkan bahwa tingkat empati kita sebagian disebabkan oleh genetika.
Baca Juga : Minim Risiko Kanker, Yuk Bersihkan Paru-paru Dengan 3 Bahan Alami Ini!
"Ini adalah langkah penting untuk memahami peran yang dimainkan genetika dalam menciptakan sifat empati. Namun perlu diingat bahwa hanya sepersepuluh perbedaan individual dalam empati dalam populasi yang disebabkan karena genetika.
Ini akan sama pentingnya untuk memahami faktor non-genetik yang menjelaskan 90% lainnya," kata Varun Warrier, seorang Ph.D. mahasiswa di Universitas Cambridge yang memimpin penelitian.
Hasil kedua menegaskan bahwa perempuan lebih berempati daripada laki-laki rata-rata.
Baca Juga : Hamil Besar, Rini Yulianti Berani Pose Yoga Seperti Ini, Bikin Ngeri!
Meskipun analisis tersebut bukan menjadi penyebab.
Karena perbedaan jenis kelamin mungkin termasuk faktor biologis non-genetik, seperti pengaruh hormon pranatal, atau faktor non-biologis seperti sosialisasi.
Terakhir, penelitian ini mengungkapkan bahwa varian genetik yang terkait dengan sifat empati yang lebih rendah juga terkait dengan risiko tinggi untuk autisme.
Warrier menjelaskan bahwa autisme adalah spektrum dan tidak ada dua orang yang sama, yang membawa rangkaian kekuatan dan kelemahan yang berbeda.
"Tapi itu hanya satu bagian dari tantangan. Memahami biologi memiliki batasnya, dan saya berharap bahwa, secara paralel, akan ada kebijakan sosial yang lebih baik untuk mendukung orang autis," katanya.
Baca Juga : Kehilangan Calon Sang Buah Hati, Gilang Dirga Ungkap Penyebabnya
Profesor Simon Baron-Cohen, direktur Pusat Penelitian Autisme di Universitas Cambridge, yang juga memimpin penelitian, berkata:
"Menemukan bahwa bahkan sebagian kecil dari mengapa kita berbeda dalam empati adalah karena faktor genetik membantu kita memahami orang lain, termasuk dengan penyandang autisme yang berjuang untuk membayangkan pikiran dan perasaan orang lain.
Hal ini dapat menimbulkan kecacatan yang tidak kalah menantang dibandingkan jenis kecacatan lainnya, seperti disleksia atau gangguan penglihatan."
Baca Juga : Inovasi Baru, Kini Pengambilan Obat di Rumah Sakit Tidak Perlu Antre!
Baron-Cohen juga menekankan bahwa masyarakat harus memberi dukungan kepada penyandang cacat dengan menggunakan "metode pengajaran baru, penyelesaian, atau penyesuaian yang wajar, untuk mempromosikan inklusi."
Source | : | Medical Daily |
Penulis | : | Fadhila Afifah |
Editor | : | Saeful Imam |
KOMENTAR