Tabloid-Nakita.com – Siapa bilang baby blues alias kesedihan pascapersalinan hanya dialami oleh Mama? Ternyata, Papa pun bisa mengalaminya.
Gejala baby blues pada Papa, secara umum sama saja dengan gejala baby blues pada Mama, yakni adanya perubahan mood, yang bisa menyebabkan emosi naik turun seperti roller coaster tanpa alasan jelas. Misalnya, mudah marah, kurang bersemangat, sulit konsentrasi, sulit mengambil keputusan, merasa kurang terikat pada bayi, dan mengalami kesulitan tidur.
Lalu, apakah ada perbedaan antara baby blues yang dialami Papa dengan yang dialami Mama?
“Kalau pada Mama, baby blues biasanya disebabkan adanya perubahan hormonal, tetapi bisa juga karena ada pengalaman melahirkan yang tidak menyenangkan atau ada trauma saat proses melahirkan. Sedangkan pada Papa, biasanya lebih disebabkan oleh faktor situasi atau kesiapan mental,” ungkap Wulan Ayu Ramadhani, Psikolog Perkawinan & Keluarga di Klinik Rumah Hati Cilandak-Jakarta.
Lebih lengkapnya, ini, Ma, sejumlah faktor yang dapat membuat Papa mengalami baby blues, seperti dipaparkan oleh Wulan:
# Ketakutan memasuki kehidupan sebagai orangtua.
Kurang mempersiapkan diri atau memiliki gambaran tentang menjadi seorang papa yang berarti akan ada penambahan peran dan tanggung jawab, atau ketakutan akan “kehilangan” kebebasan setelah adanya anak.
# Kecemasan terhadap peran baru.
Adanya kekhawatiran apakah dirinya bisa menjadi seorang papa yang baik atau tidak. Terutama bagi orangtua yang kurang memiliki pengalaman menyenangkan, biasanya mereka memiliki keinginan untuk menerapkan pola asuh yang berbeda dari orangtuanya terdahulu. Karena memotong pola ini tidaklah mudah, bisa muncul kekhawatiran dalam diri Papa untuk mengulang pola yang sama dan membuatnya menjadi semakin khawatir mengenai anaknya.
# Kondisi ekonomi yang belum matang atau ketidaksiapan finansial.
Ketika memiliki anak, ada biaya-biaya yang perlu dipersiapkan. Pada kondisi tertentu bisa ada biaya tak terduga yang cukup besar untuk persalinan hingga perawatan bayi. Misalnya, untuk keselamatan ibu dan anak, yang semula bisa melahirkan normal, akhirnya harus menjalani operasi sesar, sementara biaya persalinan tak disiapkan untuk kondisi ini. Atau, bayi lahir prematur sehingga membutuhkan perawatan khusus dengan biaya tinggi. Ketidaksiapan akan membuat beban Papa menjadi lebih berat, sehingga ia merasa tertekan karena harus menyiapkan dana di luar dugaan sebelumnya, belum lagi keperluan lainnya juga butuh banyak biaya.
# Bersaing dengan anak atau kecemasan akan kekurangan perhatian.
Dulu hanya ada Papa dan Mama sehingga perhatian Mama hanya tertuju kepada Papa. Nah, sekarang perhatian Mama terbagi atau bahkan lebih fokus kepada anak. Belum lagi, banyak aktivitas yang dulunya bisa dijalankan berdua, kini tersisihkan karena kehadiran si kecil. Kalau Papa tidak bisa menerima kondisi ini, cemburu, kesal, kecewa, jadilah Papa mengalami baby blues.
# Masalah dalam keluarga.
Pada beberapa keluarga, kehadiran anak bisa menjadi tambahan beban tersendiri. Contohnya, pernikahan yang tak diinginkan, seperti perjodohan atau married by accident, hubungan dengan pasangan yang kurang harmonis, pernikahan yang tidak direstui, perselingkuhan, dan sebagainya. Stres yang sudah ada bisa bertambah dengan kelahiran bayi.
Sayangnya, tak semua papa yang mengalami baby blues bisa menyadari bahwa ia mengalami sindrom tersebut.
“Sebenarnya, kecemasan dan kekhawatiran dengan adanya perubahan, dalam hal ini kehadiran bayi di keluarga, merupakan sesuatu yang wajar,” ujar Wulan.
Orang yang memiliki kematangan emosional baik, biasanya akan menyadari tentang apa yang ia rasakan dan kemudian emosi tersebut ia kelola. Sebaliknya, orang dengan kematangan emosional yang kurang baik, cenderung untuk mengabaikan atau tidak menyadari apa yang dirasakan dan cenderung menghindar.
“Tapi, tidak selalu seperti itu. Bisa juga karena fokus Papa pada saat itu adalah hal lain. Misalnya, karena ia sayang sekali kepada anak dan istrinya, maka ia tahubahwa ia perlu bekerja lebih baik lagi agar punya kemapanan finansial, sehingga ia ‘melupakan’ kekhawatirannya dengan cara bekerja dengan harapan satu kekhawatiran bisa terselesaikan,” terang Lulusan Magister Profesi Klinis Dewasa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Yuk, simak tipnya di rubrik USAI BERSALIN tabloid nakita edisi 917 yang terbit Rabu, 26 Oktober 2016.
Serunya Van Houten Baking Competition 2024, dari Online Challenge Jadi Final Offline
Penulis | : | Isma Anggritaningsih |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR