Nakita.id - Masih ingat kejadian tentang AR, anak SD yang salah menyebut ikan tongkol saat ditanya oleh Presiden Joko Widodo dalam kegiatan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) Tahun 2017 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Januari lalu?
Banyak orang yang menganggapnya lucu, tetapi banyak pula yang prihatin karena AR dua kali salah menyebut nama ikan tersebut karena sebenarnya mengidap disleksia. Apa sebenarnya disleksia itu, dan sejauh mana dampaknya terhadap hidup anak? Cari tahu melalui penjelasan seputar mitos tentang disleksia yang sering beredar di masyarakat berikut ini.
Mitos 1: Disleksia adalah penyakit Disleksia sebenarnya merupakan gangguan dalam proses belajar. Gangguan ini berpengaruh terhadap kemampuan membaca dan menulis seseorang. Anak yang mengalami disleksia umumnya sulit melafalkan kata-kata. Ia juga sulit memahami bunyi yang dihasilkan oleh huruf. Hal ini disebabkan adanya cara pemrosesan tulisan yang berbeda pada otak.
Disleksia dapat dialami oleh orang-orang dari berbagai latar belakang dan tingkat kecerdasan. Biasanya, gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Namun, orangtua yang tidak mengalami gangguan ini juga berkemungkinan memiliki anak dengan disleksia.
Semakin cepat gangguan ini terdiagnosis dan ditangani, semakin mudah anak mengatasi masalahnya. Jika Mama memerhatikan adanya gangguan yang dialami anak saat membaca, cobalah bicara dengan dokter ahli untuk melakukan pemeriksaan yang dibutuhkan.
Mitos 2: Anak disleksia itu bodoh Disleksia umum diderita oleh 5-15% anak. Gangguan ini tidak berkaitan dengan tingkat kecerdasan, perilaku, ataupun masalah motivasi. The National Center for Learning Disabilities mengatakan bahwa disleksia merupakan kelainan genetik dan saraf, dan bukan merupakan akibat pengajaran, pemberian instruksi, atau cara membesarkan anak yang salah. Anak-anak dengan disleksia sama cerdasnya dengan anak-anak sebayanya. Dampak disleksia terhadap setiap anak bisa berbeda-beda. Namun, sebagian besar anak memerlukan bantuan ekstra dalam belajar membaca dan menulis.
Sebagian anak disleksia kerap merasa dirinya “bodoh” karena mengalami kesulitan saat membaca. Bila tidak segera ditangani, anak dapat tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah, apalagi mengingat semakin tinggi tingkat pendidikan anak semakin banyak buku yang harus ia baca.
Mitos 3: Anak disleksia membaca secara terbalik Banyak orang menganggap, ciri-ciri disleksia adalah membaca suatu kata dari huruf paling belakang. Misalnya, “mata” dibaca “atam”. Ciri ini bisa menjadi salah satu gejala disleksia, namun juga bisa menjadi salah satu bagian perkembangan yang normal saat anak belajar membaca.
Karakteristik utama dari disleksia adalah tidak dapat membaca sebaik anak yang berusia sebayanya. Anak dengan disleksia kerap mengalami masalah ketika harus melafalkan kata, mengenali huruf, atau membaca sandi. Sejalan dengan usia, anak dapat mengalami kesulitan saat mengeja kata atau membaca dengan suara lantang. Masalah lainnya yang dialami anak disleksia adalah:
- Belajar berbicara
- Memecah kata menjadi lafal-lafal suara
- Mengucapkan kata-kata yang memiliki rima sama
- Belajar matematika dasar
- Belajar bahasa asing
- Mengelola ide.
Namun, tidak semua anak yang mengalami kesulitan tersebut lantas boleh disebut disleksia.
Mitos 4: Disleksia bisa disembuhkan Gangguan ini adalah kondisi yang menetap hingga seumur hidup anak. Namun, adanya pendampingan dari guru khusus akan membantu anak dalam belajar membaca dan mengeja.
Anak dengan disleksia mungkin akan butuh bantuan ekstra di sekolah, misalnya dengan mengulangi berkali-kali tugas yang harus dikerjakan atau mendapat waktu tambahan saat mengerjakan ulangan. Penting bagi orangtua untuk memberi semangat bagi anak untuk tidak menyerah dalam membaca. Dengan demikian, anak bisa sukses dalam sekolah maupun kariernya nanti.