Pemberian Vaksin Tidak Membuat Anak Autis

By Avrizella Quenda, Kamis, 23 Maret 2017 | 10:19 WIB
vaksin hepatitis B untuk bayi (Avrizella Quenda)

Nakita. id - Autisme adalah gangguan perkembangan otak yang bisa menyebabkan kesulitan komunikasi verbal dan nonverbal juga interaksi sosial. Orang dengan autisme memiliki cara belajar dan interaksi yang berbeda.

Autisme juga bisa menyebabkan perilaku berulang, ketidakmampuan intelektual, juga masalah dengan koordinasi motorik, konsentrasi dan tidur. Tanda-tanda dan gejala-gejala biasanya sudah dimulai sejak anak berusia 2 hingga 3 tahun.

Baca juga : Kenali Gejala Autisme pada Tiga Tahun Pertama Kehidupan Anak

Beberapa waktu lalu, muncul kekhawatiran meluas dan pernyataan kontroversial yang mengaitkan autisme dengan vaksin. Thimerosal, bahan pengawet yang biasanya digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur dalam vaksin dianggap sebagai penyebab utamanya.

Thimerosal diyakini mengandung merkuri yang dapat meracuni otak. Kelompok advokasi, media dan selebritas memainkan peran utama dalam gagasan bahwa thimerosal dalam vaksin menyebabkan autisme.

Ide ini didasarkan pada studi yang dilakukan pada 1990-an oleh Dr Mark Geier, ahli genetika dan mantan peneliti. Ia adalah seorang saksi dalam beberapa kasus cedera vaksin yang kemudian dibawa ke National Vaccine Injury Compensation Program.

Setelah meneliti data dari Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS), ia menyimpulkan bahwa anak-anak yang terpapar thimerosal dalam vaksin memiliki peluang menderita autisme enam kali lebih besar dibanding yang tidak terpapar. VAERS adalah program nasional yang mengumpulkan informasi dari pasien dan tenaga profesional kesehatan tentang efek samping vaksin.

Metodologi Dr Mark ini telah dikritik banyak ilmuwan dan peneliti. Menurut mereka, mengutip data VAERS saja tidak dapat digunakan untuk menarik kesimpulan seperti itu. Ini disebabkan sistem pengumpulan laporan dari cedera vaksin tidak dapat memverifikasi legitimasi atau mengetahui secara langsung bahwa cedera disebabkan oleh vaksin.

Metode Dr Geier dikritik secara luas oleh banyak ilmuwan dan peneliti. Mereka menyebutkan bahwa data VAERS saja tidak bisa digunakan untuk menarik kesimpulan semacam itu. Ini disebabkan sistem tersebut hanya mengumpulkan laporan-laporan cedera vaksin tapi tidak bisa memverifikasi legitimasi atau apakah ceera itu secara langsung disebabkan vaksin. Studi Geier juga dianggap cacat karena tidak memerinci bagaimana data dihasilkan, yang menghalangi tinjuan metode studi secara akurat dan replika hasil. 

Meskipun tingkat merkuri yang tinggi dapat berubah menjadi racun, ada perbedaan antara merkuri yang ditemukan dalam thimerosal dan merkuri yang ditemukan dalam air, tanah dan jenis ikan tertentu. Merkuri ditemukan di lingkungan (metil merkuri) yang dapat terakumulasi dalam jaringan manusia dan mempengaruhi perkembangan otak pada anak-anak.

Baca juga : Ini Gejala Awal Autisme Pada Anak Sesuai Usia

Namun, merkuri ditemukan dalam thimerosal (etil merkuri), sehingga tidak mungkin terakumulasi dalam jaringan manusia. Hal ini berdasarkan pada studi penelitian oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases. Tingkat darah dari bayi yang telah diimunisasi vaksin yang mengandung thimerosal ditemukan sejumlah besar etil merkuri yang diekskresikan dalam tinja anak.

Meski begitu, pada 2001 thimerosal pada vaksin untuk anak usia 6 tahun atau kurang mulai dikurangi atau bahkan dihilangkan sebagai langkah pencegahan. IOM (Institute of Medicine), FDA (Food and Drug Administration), American Academy of Pediatrics and the CDC (Centers for Disease Control) semua sepakat bahwa tak ada hubungan antara autisme dan vaksin. 

Sebuah review IOM dari 200 studi epidemiologi dan ilmiah menyimpulkan bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme. Bukti medis dan ilmiah tentang vaksin dan efek samping telah menemukan bahwa vaksin dan efek samping yang serius jarang terjadi.

CDC meninjau bukti dari kajian-kajian yang meneliti tren penggunaan vaksin dan perubahan frekuensi autisme. Mereka mengeluarkan pernyataan pada 2007 yang menyebutkan bahwa bukti tersebut tidak mendukung asosiasi antara penggunaan vaksin dan autisme. 

FDA, yang bertanggung jawab untuk meregulasi vaksin di AS, meninjua penggunaan thimerosal dalam vaksin anak. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahaya yang disebabkan thimerosal sebagai pengawet dalam vaksin, kecuali reaksi alergi lokal.

Setelah studi yang meninjau catatan dari lembaga-lembaga layanan kesehatan dan wawancara dengan orangtua dari 256 anak-anak autis, American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa thimerosal tidak meningkatkan risiko autisme.

Selanjutnya, penelitian dan bukti pendukung yang menunjukkan bahwa faktor-faktor berikut dapat meningkatkan risiko terkena autisme:

Selanjutnya, penelitian dan bukti pendukung yang menunjukkan bahwa faktor-faktor berikut dapat meningkatkan risiko terkena autisme:

- Memiliki gen tertentu yang berhubungan dengan autisme. Juga memiliki saudara kandung autis.

- Jika kedua orangtua berusia lebih tua pada saat pembuahan.

- Jika Ibu sakit selama kehamilan.

- Kesulitan sebelum, selama, dan setelah melahirkan, seperti yang menyebabkan kekurangan oksigen dalam otak bayi.

- Memiliki kelainan kromosom seperti sindrom Fragile X.

- Jika Ibu menggunakan obat-obatan seperti asam valproik dan thalidomide selama kehamilan.