Membawa Tas Anyaman “Ketak” Menembus Pasar Dunia

By Heni Wiradimaja, Rabu, 10 Mei 2017 | 01:30 WIB
Mawaryanti dan tas ketak yang menjadi kebanggaan Lombok. (Heni Wiradimaja)

Nakita.Id - Delapan belas tahun sudah pasangan asal Nusa Tenggara Barat, Mawaryanti dan Suhartono ini merintis bisnis kerajinan tas dari anyaman ketak.  Bahan dari tanaman liar ini memang populer di wilayah Lombok. Kini keduanya sukses menjadi pengusaha anyaman ketak terbesar di Lombok dengan karyawan lebih dari 500 orang. Tas ketak yang mereka hasilkan laris manis hingga ke mancanegara

Sejak kecil, masyarakat Lombok, khususnya kaum perempuan, sudah diajarkan cara menganyam. Berbekal keterampilan menganyam, Mawaryanti mencoba berinovasi dengan  berbagai desain tas. Melihat ketekunan sang istri serta peluang bisnis yang ada, akhirnya Suhartono memilih fokus mengambangkan usaha anyaman ketak bersama sang istri.

“Kami ingin melestarikan anyaman dari tanaman khas Lombok ini," kata Mawaryanti. "Sebelumnya ketak ini sempat dikombinasi dengan rotan dan bambu, tapi ternyata ketak punya daya tarik sendiri. Lebih awet dan tahan lama, kena air tidak berjamur, bebas dari hama kutu, dikirim ke luar negeri pun aman.” 

Akhir tahun 90-an, berbekal uang Rp750 ribu rupiah, Mawaryanti beserta sang suami mencoba membuat taplak meja dari anyaman ketak lalu dijual. Namun, karena produknya baru satu jenis, toko Mawaryanti sepi pembeli. Akhirnya, beberapa pengrajin bersedia memberikan produk anyaman mereka untuk ikut memeriahkan toko Mawaryanti. Sedikit demi sedikit, produk anyaman itu pun laku terjual. Uang hasil penjualan diputar kembali menjadi modal untuk membuat produk berikutnya.

Jalan Tak Selalu Mulus

Tentu, perjalanan usaha yang dinamakan Mawar Art ini tak selalu mulus. Saat terjadi tragedi bom Bali pada 2002 silam, gelombang turis ke Lombok pun ikut surut. Akibatnya, banyak pengrajin ketak yang gulung tikar.

Pasangan suami istri ini pun pernah kena tipu salah seorang pembeli. “Kami tertipu sampai Rp125 juta. Baru dibayar 30 juta, pembeli dari Jakarta itu bilang akan melunasi segera. Eh, belakangan dia tak bisa dihubungi, telepon tidak diangkat, padahal barang sudah dikirim. Modal yang kami pegang cuma Rp30 juta. Yah, pengalaman memang mahal,” cerita Suhartono.

Meski begitu, keduanya tak patah asa. Bermodal keberanian dan tekad untuk sukses, mereka kembali membangun bisnis. Kali ini, keduanya bertukar tugas. Jika awalnya Mawaryanti mengurus produksi dan Suhartono mengurus promosi serta penjualan, kini Suhartono yang mengurusi produksi dan sang istri fokus memasarkan produk.

Untuk memasarkan produk, Mawaryanti memberanikan diri berangkat ke Jakarta mengikuti sebuah kompetisi yang diselenggarakan pemerintah. Hadiah kompetisi itu adalah kesempatan menampilkan produk kerajinan di pameran internasional di Korea.

Karena mahalnya tiket pesawat terbang, Mawaryanti memilih berangkat menumpang bus meski memakan waktu perjalanan hingga 2 hari 2 malam. Apes, di tengah jalan bus justru mogok dan berhenti, sementara dirinya sudah harus tiba di Jakarta untuk menjalani proses seleksi. Nekat, Mawaryanti pun membujuk sopir bus agar menyediakan jemputan supaya ia bisa lekas sampai ke Jakarta.

Singkat kata, Mawaryanti berhasil mengikuti seleksi. Namun, untuk menunggu hasil seleksi ia diminta tinggal di Jakarta dulu. "Aduh, padahal di Jakarta, kan, semuanya serba mahal, sementara uang saya pas-pasan. Untung ada teman, jadi saya bisa menumpang. Besok paginya saya dipanggil lagi karena lolos ke seleksi berikutnya,” cerita Mawaryanti.

Akhirnya, setelah mengikuti total 4 tahap seleksi, produk anyaman ketak buatannya dinyatakan lolos mengikuti pameran internasional di Korea. “Alhamdulillah, perjuangan tidak sia-sia. Besoknya saya baru bisa pulang ke Lombok dan mempersiapkan pameran selama 3 bulan,” ucapnya penuh syukur.

Tak sampai di situ, lagi-lagi kendala menghambat langkah Mawaryanti menuju Korea. Lantaran tak memiliki kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Mawaryanti sempat dilarang naik ke dalam pesawat. Dibantu tiga temannya, ia memilih membayar denda sebesar Rp2,5 juta rupiah agar bisa terbang ke Korea. Sesampainya di Korea, ia kembali dicurigai pihak imigrasi lantaran tak percaya perempuan semuda dirinya adalah seorang pengusaha.

Setelah melewati berbagai masalah, Mawaryanti akhirnya bisa mengenalkan produknya kepada para penggemar kerajinan tangan internasional. Selain anyaman, Mawaryanti membawa dua kain tenun Lombok untuk dekorasi. Tak disangka, baru saja ia meletakkan barang dagangan, pengunjung langsung memborong habis semua produknya, termasuk kain tenun yang sejatinya digunakan untuk keperluan dekorasi.

Terbayar oleh Banyak Penghargaan

Sukses tak lepas dari kerja keras. Setelah sibuk mempromosikan produknya ke sana kemari, bisnis anyaman buatannya pun diganjar penghargaan One Village One Product (OVOP) dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Mawaryanti menerima penghargaan sebagai salah satu pelaku industri kecil dan menengah dengan klasifikasi “Bintang 5” pada 22 Desember 2015 silam.

Di kelas internasional, ia juga mendapat penghargaan dari World Craft Council (WCC) untuk kategori produk kerajinan tangan terbaik se-Asia Tenggara tahun 2014. Selain itu penghargaan UNESCO Award saat Trade Expo di Jakarta tahun 2010 pun berhasil ia gondol pulang.

Kini, produk buatan Mawaryanti dan Suhartono sudah wira-wiri melanglang buana mengikuti berbagai pameran internasional seperti Tokyo Gift Show dan Seoul Gift Show. “Perjuangan betul-betul dari nol. Dulu enggak punya tempat di pinggir jalan, sekarang ada. Dulu seadanya, sekarang sudah bisa dibangun menjadi toko,” kata Mawaryanti yang kini memiliki lebih dari 500 karyawan yang merupakan warga sekitar.

“Allah pasti akan memberikan rezeki asal kita berbagi dengan orang lain. Enggak akan ada orang miskin selama dia suka memberi dan membantu orang lain. Malah akan terus ditambah rezekinya,” lanjut Mawaryanti membuka rahasia suksesnya. Ia juga patut berbangga lantaran kini bisa membantu banyak perempuan di desanya menjadi pengrajin ketak.

Disarikan dari tulisan Wida Citra Dewi