Kursus Untuk Anak, Kapan Dibutuhkan?

By Soesanti Harini Hartono, Kamis, 18 Mei 2017 | 07:00 WIB
Sebelum mendaftarkan prasekolah ke tempat kursus, pertanyaan yang paling mendasar adalah, apa tujuan sebenarnya anak ikut les tersebut? (Santi Hartono)

nakita.id.- Di kota-kota besar saat ini, kita lazim menemui beragam tempat yang menawarkan berbagai kursus untuk balita. Mulai dari kursus bidang seni, olahraga, hingga kursus yang sifatnya lebih ‘akademik’. Menurut Psikolog Maria Herlina Limyati, MSi, Psi.,  dunia anak sendiri memang berpotensi menjadi ‘bisnis pendidikan’ yang menguntungkan, khususnya dalam hal kursus atau les. Maka, tak heran banyak pihak yang terjun ke bisnis pendidikan anak dan menawarkan beragam les pada anak, kadang dengan iming-iming agar anak bisa lebih sukses dalam sekolahnya.

Faktanya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak tempat kursus yang dulu fokus untuk membantu anak SD mengejar ketinggalan mereka dalam pelajaran, kini mulai meluncurkan program pra-TK atau pra-SD di sebagian besar cabangnya semata agar anak lebih siap sejak dini. Entah ini tuntutan zaman ataukah tuntutan kurikulum, tetapi sekalipun tidak semua SD mengharuskan kemampuan calistung sebagai syarat masuk SD, tekanan dari orangtua lain agar anak bisa calistung tetap ada.  Belum lagi, sebagian besar tempat kursus berpikir strategik dengan menempatkan tempat kursus di arena mall atau pusat perbelanjaan, sehingga orangtua merasa ‘ya ini yang dibutuhkan anak saya’ atau ‘memang sudah waktunya ia les, teman-temannya saja les di sini.’

Baca juga: Kiat Memilih Tempat Kursus Bahasa Asing

Sedihnya lagi, keberadaan beragam tempat kursus untuk kemampuan calistung ini juga ‘didukung’ oleh sekolah. Aktivitas di prasekolah tak lagi banyak melibatkan permainan lilin, balok-balok, lempar tangkap bola, atau meronce, tetapi justru banyak mengajarkan bagaimana menulis huruf dan angka, termasuk membaca ABC.  Hal ini jelas mengkhawatirkan orangtua. Pada akhirnya, mengikutsertakan anak ke dalam beragam les persiapan baca tulis atau berhitung seolah menjadi suatu keharusan bagi orangtua masa kini. Mungkin anggapan yang berlaku adalah semua hal akan lebih mudah dipelajari anak jika ia telah diperkenalkan sejak dini. Masalahnya, seberapa dini anak siap untuk menerima semua itu?

(MASIH) TANGGUNG JAWAB ORANGTUA

Dasarnya orangtua memasukkan anak les sebetulnya sama: ingin  mendorong kecerdasan anak. Namun, sejumlah psikolog berpendapat, program yang menawarkan pengajaran dini pada anak amat mungkin mengabaikan beberapa fakta mendasar tentang cara belajar anak prasekolah, atau belum mengantisipasi dampak yang mungkin muncul karena terlalu dini memaksa anak “belajar” sesuatu, baik itu kemampuan baca tulis berhitung, keterampilan menggambar, bermusik, atau olahraga sekalipun. Jadi, sebelum kita memutuskan untuk mendaftarkan anak di tempat kursus, Maria mengingatkan kembali beberapa hal berikut ini;

*Apa tujuan sebenarnya anak ikut les tersebut?

Jika tujuan anak ikut les hanya agar banyak gerak atau lebih aktif, mengapa tidak kita ajak anak lebih sering ke taman kota atau arena terbuka lainnya di sekitar rumah? Ajak anak olahraga pagi, ke car free day misalnya, atau sekadar bermain sepeda setiap sore, atau mungkin bersepeda ke sekolah setiap pagi (jika jarak memungkinkan).

*Perhatikan respons anak, apakah dia happy atau menikmati kegiatan tersebut?

Sebetulnya membuat anak happy itu tidak mahal, cukup dengan memberinya kesempatan bermain sebanyak-banyaknya. Dengan bermain si prasekolah belajar mengatur kegiatannya sendiri, sekaligus membantu mengembangkan imajinasi dan mengasah kreativitasnya. Pun andai kita sendiri bisa menjadi ‘guru les’-nya, mengapa tidak?

*Sekadar isi waktu luang atau memang kita yang tak punya banyak waktu bermain dengan anak?

Sekalipun kita dan pasangan bekerja, mengikutsertakan anak beragam les tak menjadi solusi instan dalam meningkatkan keterampilan anak. Bukankah quality time antara kita dan si prasekolah jauh lebih penting daripada membuat dirinya lebih terampil membaca atau menulis? Sama seperti poin di atas, kita bisa menjadi guru lesnya, bermain sekolah-sekolahan di rumah. Jika hari kerja saja anak sudah sibuk sekolah dilanjutkan les, apalagi les saat weekend, kapan kita berkumpul dan bercengkerama dengan anak?