Hasil Temuan: Jumlah Sperma Pria di Eropa Telah Berkurang Separuh Selama 40 Tahun Terakhir!

By Soesanti Harini Hartono, Kamis, 10 Agustus 2017 | 04:45 WIB
Terlepas dari risiko kesuburan, penurunan jumlah sperma bisa menjadi indikator masalah kesehatan yang mendasarinya yang disebabkan oleh faktor lingkungan. (Santi Hartono)

Nakita.id.-  Risiko ketidaksuburan di antara pria, tampaknya akan semakin meningkat dengan dilansirnya sebuah temuan baru di jurnal Human Reproduction Update awal Agustus 2017.

Temuan ini mengemukakan, jumlah sperma para pria  di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Selandia Baru telah berkurang separuh dalam 40 tahun terakhir.

Sontak para ahli kesuburan di Eropa Barat memperingatkan tentang bahaya semakin berkurangnya jumlah bayi ke dunia. “Pertama, angka pernikahan semakin mundur bahkan berkurang. Kedua, yang menikah pun ternyata menghadapi risiko ketidaksuburan dari suami,” kata salah seorang peneliti.

Temuan ini merupakan hasil kesimpulan terhadap data yang dikumpulkan dari hampir 43.000 pria di 185 penelitian sebelumnya dari tahun 1973 sampai 2011. Kesimpulannya, terjadi penurunan "signifikan" pada konsentrasi sperma. Penurunan yang terjadi mencapai 52,4% - dari 99 juta menjadi 47 juta sperma per mililiter semen.

Meski demikian, jumlah ini masih berada di atas kisaran yang dianggap "normal" oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),  yaitu antara 15 juta sampai 200 juta sperma per mililiter. Bahkan konsentrasi di bawah 15 juta tidak secara otomatis berarti ketidaksuburan.

Baca juga: Jumlah Sperma Yang Dibutuhkan Agar Bisa Hamil

Tim peneliti tidak menemukan penurunan yang signifikan di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika, di mana penelitian juga dilakukan meski jumlah penelitiannya lebih sedikit.

Terlepas dari risiko kesuburan, penurunan jumlah sperma bisa menjadi indikator masalah kesehatan yang mendasarinya yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti keracunan pestisida, stres, merokok, alkohol, pola makan yang buruk dan faktor gaya hidup lainnya.

Baca juga: Sperma Berkualitas Baik Ini Tipnya

Tapi hasil penelitian ini ternyata  juga menimbulkan perdebatan karena hanya menggunakan studi di mana konsentrasi sperma diukur dengan alat hi-tech yang disebut haemocytometer.

Menurut pakar kesuburan pria Martin Blomberg Jensen dari Righospitalet Denmark, kesimpulan itu masih terburu-buru dan perlu dibandingkan lagi dengan sampel individu yang berbeda dari berbagai negara dan laboratorium.

Jensen juga mengatakan, cara terbaik untuk mengonfirmasi perubahan jumlah sperma adalah  melalui surveilans jangka panjang, yang dikenal sebagai studi kohort prospektif, dari sekelompok pria sehat.