Nakita.id.- Risiko ketidaksuburan di antara pria, tampaknya akan semakin meningkat dengan dilansirnya sebuah temuan baru di jurnal Human Reproduction Update awal Agustus 2017.
Temuan ini mengemukakan, jumlah sperma para pria di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Selandia Baru telah berkurang separuh dalam 40 tahun terakhir.
Sontak para ahli kesuburan di Eropa Barat memperingatkan tentang bahaya semakin berkurangnya jumlah bayi ke dunia. “Pertama, angka pernikahan semakin mundur bahkan berkurang. Kedua, yang menikah pun ternyata menghadapi risiko ketidaksuburan dari suami,” kata salah seorang peneliti.
Temuan ini merupakan hasil kesimpulan terhadap data yang dikumpulkan dari hampir 43.000 pria di 185 penelitian sebelumnya dari tahun 1973 sampai 2011. Kesimpulannya, terjadi penurunan "signifikan" pada konsentrasi sperma. Penurunan yang terjadi mencapai 52,4% - dari 99 juta menjadi 47 juta sperma per mililiter semen.
Meski demikian, jumlah ini masih berada di atas kisaran yang dianggap "normal" oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu antara 15 juta sampai 200 juta sperma per mililiter. Bahkan konsentrasi di bawah 15 juta tidak secara otomatis berarti ketidaksuburan.
Baca juga: Jumlah Sperma Yang Dibutuhkan Agar Bisa Hamil
Tim peneliti tidak menemukan penurunan yang signifikan di Amerika Selatan, Asia, dan Afrika, di mana penelitian juga dilakukan meski jumlah penelitiannya lebih sedikit.
Terlepas dari risiko kesuburan, penurunan jumlah sperma bisa menjadi indikator masalah kesehatan yang mendasarinya yang disebabkan oleh faktor lingkungan seperti keracunan pestisida, stres, merokok, alkohol, pola makan yang buruk dan faktor gaya hidup lainnya.
Baca juga: Sperma Berkualitas Baik Ini Tipnya
Tapi hasil penelitian ini ternyata juga menimbulkan perdebatan karena hanya menggunakan studi di mana konsentrasi sperma diukur dengan alat hi-tech yang disebut haemocytometer.
Menurut pakar kesuburan pria Martin Blomberg Jensen dari Righospitalet Denmark, kesimpulan itu masih terburu-buru dan perlu dibandingkan lagi dengan sampel individu yang berbeda dari berbagai negara dan laboratorium.
Jensen juga mengatakan, cara terbaik untuk mengonfirmasi perubahan jumlah sperma adalah melalui surveilans jangka panjang, yang dikenal sebagai studi kohort prospektif, dari sekelompok pria sehat.
“Angka terbaru ini juga tidak melibatkan temuan dari studi yang kami lakukan di Denmark dari tahun 1996 sampai 2010 di Denmark,” klaim Jensen.
Baca juga: Bersepeda Dapat Menurunkan Kualitas Sperma?
Pernyataan Jensend diperkuat oleh Allan Pacey dari University of Sheffield, di Inggris. “Penemuan di Denmark seharusnya bisa menyumbangkan data yang berguna bila saja dilibatkan.”
Nah, perdebatan tentang jumlah sperma tampaknya belum akan selesai dan masih banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan.
Namun yang jelas, berbagai faktor yang disebutkan di atas, contohnya gaya hidup, stres, dan merokok, ternyata bisa memengaruhi jumlah dan kualitas sperma. Dengan demikian, hal yang sama bisa terjadi pada pria-pria di manapun, termasuk di Indonesia. (*)