Tsunami Banten, Erupsi Gunung Anak Krakatau: Kewaspadaan Wisatawan dan Pengelola Tempat Menginap Tidak Maksimal?

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Minggu, 23 Desember 2018 | 15:24 WIB
Penginapan dan kendaraan menginap juga terkena dampak (Pusdalsis KG)

Nakita.id – Sabtu (22/12/2018), Selat Sunda, diterjang gelombang tinggi. Kemudian dinyatakan bahwa terjadi tsunami Anyer.

Awalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa gelombang pasang yang terjadi di Pantai Anyer, Banten, dan bukan tsunami Anyer.

Peristiwa gelombang pasang yang naik ke daratan terjadi sekitar pukul 21.15 WIB.

Baca Juga : Anyer dan Lampung Diterjang Tsunami, Permukiman Rusak dan Ada Korban Jiwa

Sehingga, BNPB meminta masyarakat tetap tenang.

Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) Banten melaporkan ada korban dalam gelombang pasang di Pantai Carita. Namun detailnya belum bisa diungkapkan.

"Informasi dari anak buah saya di lapangan ada korban, banyak warga yang mengungsi," kata Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Pandeglang, Endan Permana, saat dikonfirmasi, Sabtu malam, dikutip dari Kompas.com

"Masih nunggu update selanjutnya," tambahnya.

BMKG melalui akun Twitter resmi, awalnya menyatakan fenomena tersebut bukan tsunami melainkan gelombang tinggi. Namun, dalam siaran persnya, setelah melihat data dari empat stasiun pengamatan, BMKG menyebut gelombang tersebut termasuk tsunami.

Hasil pengamatan menunjukkan tinggi gelombang masing-masing 0.9 meter di Serang pada pukul 21.27 WIB, 0,35 meter di Banten pada pukul 21.33 WIB, 0,36 meter di Kota Agung pada pukul 21.35 WIB, dan 0,28 meter pada pukul 21.53 WIB di Pelabuhan Panjang.

Meski menyatakan tsunami, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rachmat Triyono menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada aktivitas seismik di sekitar lokasi gelombang tinggi.

Baca Juga : Manggung di Banten, Grup Band Seventeen Kabarkan Kondisinya: 2 Anggota Meninggal Dunia, Istri Ifan Seventeen Belum Ditemukan

BMKG menyatakan dugaan hal yang menyebabkan tsunami Banten tersebut.

Menurut penjelasannya, tsunami yang terjadi ini diduga akibat adanya aktivitas di gunung Anak Krakatau.

BMKG hingga kini masih akan terus melakukan verifikasi lebih lanjut mengenai hal tersebut.

"UPDATE: Gelombang pasang di Anyer dan sekitarnya memang bukan tsunami karena aktivitas gempa tektonik. Namun hal tersebut DIDUGA tsunami akibat aktivitas gunung Anak Krakatau, setelah mendapat data dari Badan Geologi. #BMKG akan melakukan verifikasi lanjutan mengenai fenomena ini," keterangan tertulis BMKG di Twitter.

Penyebab tsunami Banten

Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho melalui Twitter pribadinya.

Melalui keterangan yang diberikan Sutopo, penyebab terjadinya tsunami di Pandeglang dan Lampung tersebut adalah karena kombinasi longsor bawah laut akibat adanya erupsi Gunung Anak Krakatau serta gelombang pasang saat purnama.

"Penyebab tsunami di di Pandeglang dan Lampung Selatan adalah kemungkinan kombinasi dari longsor bawah laut akibat pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang saat purnama. BMKG masih meneliti lebih jauh untuk memastikan penyebab tsunami," jelas Sutopo.

Ia pun juga mengatakan bahwa fenomena tsunami di Selat Sunda ini termasuk kejadian langka.

Baca Juga : Tsunami Banten: 20 Orang Meninggal, Ratusan Orang Luka-Luka, 2 Orang Hilang, Bangunan dan Kendaraan Rusak Parah

Disebut langka karena erupsi letusan Gunung Anak Krakatau ini terbilang kecil dan tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan.

Selain itu juga tidak ada gempa yang memicu terjadinya tsunami itu.

"Fenomena tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigaikan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu," terangnya.

Sehingga cukup sulit menemukan penyebab awal terjadinya tsunami.

"Itulah sulitnya menentukan penyebab tsunami di awal kejadian," ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan peristiwa tsunami di Pantai Barat Banten tidak dipicu oleh gempa bumi, melainkan karena cuaca.

"Gelombang tinggi terjadi karena cuaca," ujar Dwikorita dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Sabtu (23/12/2018).

Bahkan, baru-baru ini, ditemukan adanya erupsi Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan tsunami ini tidak terdeteksi, lantaran adanya kerusakan pada seismometer, sehingga tidak adanya deteksi dini terjadinya tsunami di Banten.

"BMKG berkoordinasi dengan Badan Geologi melaporkan bahwa pada 21.03 WIB Gunung Krakatau erupsi kembali sehingga peralatan seismometer setempat rusak, tetapi seismic Stasiun Sertung merekam adanya getaran tremor terus menerus," jelas dia.

Baca Juga : Bassist Seventeen Meninggal Dunia, Begini Kedekatannya dengan Anak Semata Wayang Semasa Hidupnya

Peringatan dari BMKG

"BMKG berkoordinasi dengan Badan Geologi melaporkan bahwa pada 21.03 WIB Gunung Krakatau erupsi kembali sehingga peralatan seismometer setempat rusak, tetapi seismic Stasiun Sertung merekam adanya getaran tremor terus menerus," jelas dia.

Berdasarkan rekaman seismik dan laporan masyarakat, peristiwa tsunami tersebut tidak disebabkan oleh aktifitas gempabumi tektonik namun sensor Cigeulis (CGJI) mencatat adanya aktivitas seismik dengan durasi ± 24 detik dengan frekwensi 8-16 Hz pada pukul 21.03 WIB.

Adapun berdasarkan hasil pengamatan tidegauge Serang di Pantai Jambu, Desa Bulakan, Cinangka, Serang, tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian gelombang 0,9 meter.

"Kemudian tidegauge Banten di pelabuhan Ciwandan, tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0.35 meter," kata Dwikorita.

Selanjutnya, lewat tidegauge Kota Agung di Desa Kota Agung, Kota Agung, Lampung tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0.36 meter.

Yang terakhir tidegauge Pelabuhan Panjang, Kota Bandar Lampung tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0.28 meter.

"Kepada masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

Juga diimbau untuk tetap menjauh dari pantai perairan Selat Sunda, hingga ada perkembangan informasi dari BMKG dan Badan Geologi," tutupnya.

BMKG sebenarnya telah mendeteksi dan memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku dari tanggal 22 Desember pukul 07.00 WIB hingga tanggal 25 Desember 2018 pukul 07.00 WIB di wilayah perairan Selat Sunda.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan peristiwa tsunami di Pantai Barat Banten tidak dipicu oleh gempa bumi, melainkan karena cuaca.

Dwikorita juga memaparkan kronologi terjadinya peristiwa tsunami di wilayah pantai di sekitar kawasan Selat Sunda.

Hal itu ia sampaikan dalam konferensi pers di gedung BMKG, Jakarta, Minggu (23/12/2018) dini hari.

Baca Juga : Foto Hore Bapakku Pulang di Instagram, Cara Pamit Bani Seventeen Kepada Keluarga dan Fans

21 Desember, BMKG deteksi erupsi anak gunung Krakatau

Dwikorita memaparkan pada Jumat (21/12/2018) sekitar pukul 13.51 WIB, BMKG telah mengumumkan erupsi gunung anak Krakatau dengan status level Waspada.

"Kemarin pukul 13.51 WIB pada tanggal 21 Desember Badan Geologi telah mengumumkan erupsi gunung anak Krakatau dan levelnya pada level Waspada," kata Dwikorita.

22 Desember, BMKG umumkan peringatan dini potensi gelombang tinggi

Pada Sabtu (22/12/2018), kata Dwikorita, BMKG mengeluarkan peringatan dini sekitar pukul 07.00 WIB akan potensi gelombang tinggi di sekitar perairan Selat Sunda.

"Diperkirakan (gelombang tinggi terjadi) kemarin tanggal 21 hingga nanti 25 Desember 2012. Ini peristiiwa beda tapi terjadi pada lokasi yang sama. Yang pertama erupsi Gunung Krakatau dan potensi gelombang tinggi," katanya.

Menurut dia, sekitar pukul 09.00-11.00 WIB, tim BMKG ada yang sedang berada di perairan Selat Sunda melakukan uji coba instrumen.

"Di situ memang terverifikasi bahwa terjadi hujan lebat dengan gelombang dan angin kencang, karena itu tim kami segera kembali ke darat," ujarnya.

22 Desember, BMKG deteksi gunung Krakatau alami erupsi lagi

Sekitar pukul 21.03 WIB, BMKG mencatat erupsi gunung anak Krakatau. Di satu sisi sejumlah tide gauge (alat pendeteksi tsunami) BMKG menunjukkan ada potensi kenaikan permukaan air di pantai sekitar Selat Sunda.

"Dan kami analisis, kami memerlukan waktu analisis apakah kenaikan air itu air pasang akibat fenomena atmosfer yang tadi ada gelombang tinggi?

Jadi memang ada fase seperti itu. Namun ternyata setelah kami analisis lanjut gelombang itu merupakan gelombang tsunami," kata dia.

Adapun rinciannya, berdasarkan hasil pengamatan tidegauge Serang di Pantai Jambu, Desa Bulakan, Cinangka, Serang, tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian gelombang 0,9 meter.

Baca Juga : Sama-sama Jadi Korban Tsunami, Kembaran Ifan Seventeen Minta Bantuan: Semua Nggak Ada, Tolong!

"Kemudian tidegauge Banten di pelabuhan Ciwandan, tercatat pukul 21.33 WIB ketinggian 0.35 meter," kata Dwikorita.

Selanjutnya, lewat tidegauge Kota Agung di Desa Kota Agung, Kota Agung, Lampung tercatat pukul 21.35 WIB ketinggian 0.36 meter.

Yang terakhir tidegauge Pelabuhan Panjang, Kota Bandar Lampung tercatat pukul 21.53 WIB ketinggian 0.28 meter.

Menurutnya, berdasarkan ciri gelombangnya, tsunami yang terjadi kali ini mirip dengan yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah lalu.

"Periodenya (periode gelombang) pendek-pendek," katanya.

"Masyarakat diimbau agar tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Juga diiimbau untuk tetap menjauh dari pantai perairan Selat Sunda, hingga ada perkembangan informasi dari BMKG dan Badan Geologi," ujarnya.

Atas terjadinya tsunami, hingga saat berita ini ditulis, BNPB telah mencatat penambahan jumlah korban dalam insiden tsunami Anyer.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo mengungkapkan, korban meninggal dunia akibat tsunami yang melanda wilayah pantai di sekitar Selat Sunda bertambah menjadi 43 orang.

Baca Juga : Ifan Seventeen Geram Fotonya di Ranjang Tersebar, Begini Respons Sang Istri!

Sementara 584 orang mengalami luka-luka. Data tersebut merupakan data terkini BNPB, Minggu (23/12/2018) per pukul 07.00 WIB.

"Dua orang hilang. Kerugian fisik meliputi 430 unit rumah rusak berat, 9 hotel rusak berat, 10 kapal rusak berat dan puluhan rusak," kata Sutopo dalam keterangan persnya.

Di Kabupaten Pandeglang tercatat 33 orang meninggal dunia, 491 orang luka-luka, 400 unit rumah rusak berat, 9 hotel rusak berat, dan 10 kapal rusak berat.

Menurut pengamatan Nakita.ID yang sempat berada di Anyer pada bulan September 2018, saat itu dentuman keras terdengar dengan interval tak sampai tiap lima menit.

Lahar merah dan asap tebal tampak dari mulut gunung Anak Krakatau.

Namun warga, wisatawan dan pengelola tempat menginap tampak tidak terlalu khawatir. Seakan peristiwa itu bukan hal yang berbahaya.

Padahal BMKG saat itu menyatakan kondisi dalam Waspada I seperti yang dijelaskan di atas, dan bahkan sudah ada peringatan untuk wisatawan tidak dianjurkan berwisata mendekat ke radius tertentu.

Bahkan menurut saksi mata, pada Sabtu malam pukul 22:00 sudah banyak tamu di tempatnya menginap yang check out karena takut.

Namun pengelola mengatakan ombak hanya setinggi 2 meter. Akibatnya dirinya tidak ikut panik. Beruntung pada hari Minggu pagi dia buru-buru check out sehingga masih bisa kembali ke Jakarta dengan selamat.