Lisa Blackpink jadi Korban Rasisme, Begini Kepribadian Pelaku Rasisme

By Nita Febriani, Selasa, 8 Januari 2019 | 15:01 WIB
Lisa Blackpink kena hujat netizen ()

Nakita.id - Dalam 24 jam terakhir media sosial twitter diramaikan dengan tagar #RespectLisa.

Orang berbondong-bondong mencuitkan tagar tersebut lantaran Lisa yang tergabung dalam girlband K-pop Blackpink baru saja menjadi korban rasisme.

Banyak warganet bermental haters yang menghujat salah satunya karena Lisa Blackpink adalah member Blackpink yang tidak memiliki darah korea, namun begitu tenar di dunia K-pop, baik di Korea maupun di luar Korea sendiri.

Baca Juga : Lisa Blackpink Dihujat Haters, Fansnya Viralkan Tagar #RespectLisa

Lisa disebut-sebut tak pantas seterkenal karena ia bukan berasal dari Korea.

Bicara soal ketenaran, memang Lisa yang asli Thailand yang memiliki pengikut Instagram terbanyak.

Selain itu, Lisa juga berada di peringkat 9 dari 100 gadis paling cantik di dunia di 2018.

 Baca Juga : 4 Kegelisahan Para Ibu Saat Menyusui Si Kecil, Moms Setuju Juga?

Moms, memang haters ada di mana saja, apalagi di tengah industri musik Korea yang amat menonjol dalam bidang penampilan dan juga ketatnya persaingan.

Perempuan bernama lengkap Lalisa Manobal itu disebut warganet hanya orang asing di Korea.

Para haters mengatakan jika Lisa Blackpink tidak pantas tergabung dengan Blackpink, girlband yang telah membesarkan namanya.

Warganet Korea yang haters Lisa Blackpink memberikan komentar negatif bahkan ada juga yang menyebut Lisa datang dari negara terbelakang.

Baca Juga : 45 Tahun dan Masih Bujang, Pengusaha R Pengguna Jasa Vanessa Angel Baru Pertama Kali Coba Artis

Perlu diketahui, perilaku rasisme tidak memiliki dasar genetik dan bukan sifat yang diturunkan melalui evolusi.

Seseorang berlaku rasis murni karena memiliki mekanisme pertahanan psikologis, yang dihasilkan oleh perasaan tidak aman dan cemas dalam dirinya.

Beberapa bukti dari teori psikologis Manajemen Teror menunjukkan, ketika orang diberi pengingat akan kematian mereka sendiri, mereka merasakan cemas dan merasa tidak aman.

Baca Juga : 5 Hobi Sederhana Ini Obat Mujarab Atasi Stres Untuk Moms, Coba Yuk!

Orang-orang tersebut menjadi lebih rentan terhadap pencarian status, materialisme, keserakahan, prasangka, dan agresi.

Mereka cenderung menyesuaikan diri dengan sikap yang diterima secara budaya dan mengidentifikasi dengan kelompok etnis atau negara mereka.

Menurut Teori Manajemen Teror, motivasi dari perilaku ini adalah untuk meningkatkan rasa signifikansi atau nilai seseorang dalam mendapatkan rasa aman sebagai cara melindungi diri terhadap ancaman.

 Baca Juga : Vanessa Angel Bantah Terlibat Prostitusi Online, Ini Reaksi Kabid Humas Polda Jatim yang Keheranan

Jika seseorang merasa tidak aman atau kurang percaya diri dengan identitasnya, mereka mungkin memiliki keinginan untuk berafiliasi menjadi suatu kelompok.

Ini dilakukan untuk memperkuat identitas mereka dan menemukan rasa saling memiliki.

Menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri dan berbagi tujuan bersama dengan anggota kelompok lainnya membuat mereka merasa lebih lengkap dan utuh.

 Baca Juga : Pengakuan Vanessa Angel dan Ayahnya Atas Kasus Prostitusi Online yang Menyeretnya

 

Untuk memperkuat rasa identitas mereka, anggota kelompok dapat mengembangkan perasaan bermusuhan terhadap kelompok lain.

Baca Juga : Moms, Sedikit Quality Time Bersama Anak Ternyata Penting Loh!

Kelompok tersebut dapat menjadi lebih jelas dan kohesif dalam perbedaannya dengan kelompok lain yang dianggap berbeda dengannya.

Orang dapat memproyeksikan kelemahan psikologis mereka dan kegagalan pribadi mereka sendiri ke kelompok lain sebagai strategi untuk menyalahkan.

Individu dengan sifat kepribadian narsis dan paranoid yang kuat sangat rentan terhadap strategi ini, karena mereka akan cenderung terus menjelekkan orang lain.