#LovingNotLabelling : Ternyata Sering Panggil 'Anak Pintar' atau 'Anak Cantik' Juga Bisa Berdampak Buruk

By Saeful Imam, Rabu, 30 Januari 2019 | 13:54 WIB
#LovingNotLabelling : Ternyata Sering Panggil 'Anak Pintar' atau 'Anak Cantik' Juga Bisa Berdampak Buruk (iStockphotos)

Nakita.id - Ada banyak orang yang terhina ketika mendapatkan julukan kurang baik, entah Si Pemalas, Kudet (kurang update), atau bahkan kasar seperti Bodoh.

Muka langsung memerah, hati kesal, tangan pun refleks mengepal, dan mulut langsung menggeram marah, siap meluncurkan berbagai kata pedas tak berbatas.    

Celakanya, banyak yang justru tersanjung saat julukan itu positif, penuh dengan gula-gula pujian seperti Smart, Keren, Incess, dan sebagainya. 

Begitu mendengarnya, hidung kita langsung mengembang, air muka pun cerah, dan langsung bersemangat. 

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Melabel Anak Bisa Melukai Hatinya, Ini 3 Cara Terbaik Hindari Labelling

Lebih celaka lagi, hal itu juga diterapkan pada si kecil. 

Memang, banyak orangtua yang mulai membatasi bahkan menahan diri untuk tidak memberikan label seperti "Anak Nakal", "Anak Bandel", dan berbagai label negatif lainnya, karena dapat melukai harga diri, bahkan mempengaruhi konsep dirinya. 

Sayangnya, banyak orangtua secara tidak sadar memberi label positif pada anak.

Harapannya, anak bisa berusaha dan berperilaku sesuai dengan apa yang dilabelkan.  

Akhirnya, meluncurlah berbagai label positif buat anak.

Mulai 'Anak Pintar', 'Anak Manis', 'Anak Cerdas', 'Anak Cantik', dan sebagainya.   

Label itu kerap diulang-ulang, diucapkan orangtua dengan harapan anak dapat berperilaku sesuai dengan julukan itu.  

Hanya saja, yang perlu dicatat oleh orangtua, seperti dibahas di nakita edisi 54, sekalipun pemberian label positif, ungkap psikolog Enny Hanum, orangtua tetap harus berhati-hati. 

Memang, label positif dapat memberi sugesti atau memacu anak untuk berperilaku sepertiapa yang disebutkan. Misalnya, label "anak pintar". "Bagi anak, apa yang dilontarkan itu seolah-olah harapan orang lain padanya, sehingga ia pun akan berusaha untuk jadi anak yang pintar," tutur Enny.

Hanya saja, pemberian label positif tak selamanya akan berdampak positif. "Pemberian label positif juga bisa berdampak negatif. Antara lain, anak jadi kehilangan spontanitasnya karena ada dorongan untuk memenuhi harapan orang tua. Padahal, spontanitas inilah yang menjadi ciri anak seusianya," tegasnya. 

Misalnya, ia selalu dikatakan sebagai anak manis sehingga ia pun mencoba untuk memenuhi harapan tersebut. Dalam berbagai pertemuan, ia harus menahan diri agar berperilaku sebagai anak manis.

Bila anak lain berlarian ke sana ke mari dengan bebas, misalnya, ia akan duduk manis bak putri kerajaan. "Hal itu dilakukannya karena ia ingin menyenangkan orangtuanya, memenuhi harapan orangtuanya sebagai anak manis."

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Label Merusak Identitas Anak, Ini 3 Bahayanya!

Jangan lupa, ingat Enny, pada usia prasekolah konsep diri anak masih kabur. "Ia belum punya kesadaran, aku ini siapa? Konsep dirinya sedang dibentuk sehingga aku ini kekurangannya di mana tak diketahuinya."

Oleh karena itu, bila terjadi hal demikian, saran Enny, orangtua harus segera memperbaikinya. "Terangkan pada anak bahwa ia keliru menangkap maksud orangtua."

Katakan, misalnya, "Yang Bunda maksud manis itu bukan berperilaku seperti itu." Lalu jelaskan "manis"nya itu seperti apa dan bahwa ia masih punya hak untuk bermain, "Kalau dalam acara pernikahan, kamu memang boleh bersikap demikian karena itu adalah bagian dari tata krama. Tapi di luar pesta perkawinan, kamu tak harus selalu bersikap demikian. Kamu bebas berlarian dan bermain bersama teman-temanmu."

Dengan demikian, anak tahu persis kapan ia harus bersikap manis dan sikap manis sepertiapa yang dikehendaki orangtuanya.Label positif juga akan berdampak negatif bila tak sesuai realitasnya. "Bila anak terus menerus ingin memenuhi harapan orangtuanya sementara kemampuannya tak ada, tentu bisa melelahkan dan membuatnya frustrasi," terang Enny.

Memang, orangtua bermaksud baik dengan memberikan label positif walaupun orang tua tahu tak sesuai realitasnya, yaitu demi mendorong agar anak jadi pintar atau rajin. "Tapi kalau orangtua memberikan label diluar ukurannya, anak jadi kurang kepercayaan dirinya.

Misalnya, ia obesitas atau kegemukan tapi orangtuanya bilang ia anak cantik, badannya bagus, dan sebagainya," lanjutnya.

Baca Juga : #LovingNotLabelling: Awas! Memberi Label pada Anak Bisa Membatasi Potensi Dirinya untuk Meraih Sukses

Konsep dirinya juga jadi salah, kan!

Pun label positif bisa berdampak bila dilakukan secara berlebihan, bahkan untuk sesuatu yang ringan di mata anak. Bila orangtua kerap mengatakan 'pintar' karena anak 5 tahun bisa makan sendiri, maka label itu tidak membantu banyak pada konsep diri anak. 

Sebab, kemampuan makan sendiri harus dikuasai anak di usia batita (1-3 tahun). Akan lebih baik bila label positif diungkapkan pada hal-hal yang memang layak seperti anak berhasil menguasai kemampuan bersepeda di usia 5 tahun.  

Hati-hati, ya, dalam memberikan label positif dan terlebih lagi label negatif.