Berjuang di Garda Paling Depan Tangani Pandemi Covid-19 hingga Kekurangan Istirahat, Sejumlah Aktivis Mahasiswa Ini Justru Nilai Fasilitas Hotel Berbintang untuk Tenaga Medis Berlebihan

By Gabriela Stefani, Kamis, 9 April 2020 | 20:00 WIB
Sejumlah mahasiswa kritik kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19 yang dinilai tak solutif (ilustrasi konferensi pers) (freepik)

Nakita.id - Sejumlah aktivis mahasiswa turun untuk memberikan kritik kepada pemerintah dalam penanganan covid-19 di Indonesia.

Sejumlah mahasiswa tersebut rupanya berasal dari Aliansi BEM Jakarta Bersuara.

Bagi mereka kebiajakan yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dianggap kurang tepat.

Bahkan puluhan aktivis mahasiswa ini juga menilai kebijakan Anies cenderung politis dibandingkan solutif.

Para aktivis mahasiswa ini menyoroti aksi pemerintah yang meminta diberlakukannya local lockdown yang dianggap terburu-buru.

Baca Juga: Berpulang di Usia 44 Tahun karena Meningitis, Ini Cita-cita Glenn Fredly yang Belum Terwujud

Salah satu anggota aliansi yang juga Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) periode 2018-2019, Dheden Pratama mengungkapkan, masalah lain yang mereka soroti yakni kelangkaan Alat Pelindung Diri (APD) termasuk masker sebagai kebutuhan utama pencegahan penyebaran Virus Corona.

"Urgensi saat ini bagaimana kita sama-sama bersatu memerangi Covid-19, antara pemeringah dengan masyarakat. Untuk memutus mata rantai corona," ujar Dheden saat menggelar konferensi pers bertajuk "Lockdown Solusi atau Politisasi" di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (4/4/2020).

"Namun sangat disayangkan, di tengah urgensi seperti ini, banyak oknum-oknum di tengah pemerintahan maupun sipil, yang memanfaatkan kekayaan diri untuk menperkaya diri dengan menimbun masker," imbuhnya.

Dheden menambahkan, ia bersama anggota aliansi juga sudah datang ke Pasar Pramuka dan mendapati sejumlah alat kesehatan dijual dengan harga berkali-kali lipat dari harga normal.

Aktivis mahasiswa yang mengkiritisi kebijakan pemerintah dari Aliansi BEM Jakarta Bersuara

"Di Pasar Pramuka milik (Perumda) Pasar Jaya, APD yang tadinya dijual Rp80 ribu menjadi Rp450 ribu. termometer tadinnya Rp150 ribu kini dijual Rp1,5 juta," jelas Dheden.

"Jadi, masalah kita sekarang bukan hanya soal Covid-19 saja, tapi tentang oknum-oknum yang mengambil keuntungan materi dari pandemi global ini," tambahnya.

Sementara itu, Presiden Mahasiswa STIKES Binawan, Yazid Albustomi menambahkan,Aliansi BEM Jakarta Bersuara meminta Pemprov DKI Jakarta agar lebih fokus dalam hal pencegahan yakni dengan menggelar rapid test massal yang menjangkau lebih banyak orang.

"Jika Indonesia ingin meniru gaya penanganan ala Korea Selatan, maka keberadaan fasilitas kesehatan kita juga harus mencukupi," ujar Yazid.

"Tes dengan skala masif harus ada guna mendeteksi siapa saja yang terinfeksi Covid-19 ini," imbuhnya.

Baca Juga: Setia Temani hingga Akhir Hayat, Mutia Ayu Tak Kuasa Tahan Tangis di Samping Pusara Glenn Fredly

Yazid mengungkapkan, dengan kapasitas tes yang sekarang saja, jumlah suspect sampai sekarang sudah bertambah empat kali lipat lebih dibandingkan minggu sebelumnya.

"Kasus yang terlewat sama saja dengan bom waktu. Pengetahuan akan keadaan riil di lapangan akan mempermudah pemerintah dalam perencanaan strategi ke depannya," katanya

Aliansi juga menyoroti penggunaan Hotel Grand Cempaka milik Pemprov DKI digunakan sebagai tempat untuk menginap tim medis dan relawan yang dianggap berlebihan. 

"Fasilitas hotel bintang 5 untuk tim medis dinilai berlebihan. Lantas apakah itumenjamin bahwa masyarakat Jakarta tidak terinfeksi virus Corona karena belummeratanya tindakan pencegahan dari Gubernur Jakarta terkait virus Corona dikalangan masyarakat menengah kebawah," ujar Yazid mewakili aliansi.

Desakan untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown di DKI Jakarta terus mencuat belakangan ini.

Tanpa terkecuali Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bahkan sudah mengajukan upaya local lockdown, meskipun ditolak pemerintah pusat.

Pro dan kontra kemudian bermunculan di tengah masyarakat.

Kalangan yang takut penyebaran corona makin menjadi-jadi, sepakat dengan dilakukannya lockdown parsial di DKI Jakarta.

Di sisi lain, muncul sikap keberatan sebagian masyarakat yang menganggap lockdown akan mematikan penghidupan orang banyak, terutama mereka yang bekerja di sektor informal dan tidak memiliki uang tabungan.

Jika berada di dalam rumah, mereka tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, termasuk menafkahi keluarga.

Menyikapi hal ini, aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Jakarta Bersuara menyampaikan pandangannya.

Baca Juga: Bak Petir di Siang Bolong, Sebelum Glenn Fredly Meninggal Dunia, Mbah Mijan Telah Ramalkan Hal Ini hingga Seret Soal Tahun Kolo Bayu

Mereka menyoroti dan memberikan kritik atas kinerja Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta, dalam menghadapi penyebaran wabah Covid-19 di DKI Jakarta 

Ronaldo Zulfikar, mewakili aliansi mengungkapkan, pihaknya mempertanyakan niat Anies Baswedan untuk melakukan karantina wilayah atau lockdown.

"Yang kami pertanyakan sudah sejauh mana kesiapan Pemprov hingga akan melakukan lockdown. Apakah sudah dilakukan dengan langkah-langkah matang, seperti melakukan kajian dari berbagai aspek, sosialisasi menyeluruh hingga masyarakat paling bawah dan hal lain yang semestinya harus dipikirkan dengan matang," ujar Zulfikar, aktivis mahasiswa dari UHAMKA.

Ginka, aktivis dari Universitas Esa Unggul menambahkan, lockdown sejatinya bukan satu-satunya opsi dalam penanganan pandemi Corona.

Menurutnya, semua bergantung pada sistem pengendalian penyebaran virus. Selama sistem yang dipakai dapat menekan laju penyebaran, maka kita dapat bernafas lega.

Pertanyaan yang muncul ialah tipe kebijakan mana yang cocok diterapkan di Indonesia?

Ginka mencontohkan, kasus Korea Selatan, lockdown tidak diperlukan karena aksi preventif mereka terbukti ampuh.

Walaupun masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa, fasilitas medis siap melaksanakan tes massal hingga belasan ribu dalam sehari sehingga mereka yang terjangkit lebih mungkin diketahui keberadaannya dan dapat segera dikarantina guna mencegah penyebaran lebih lanjut.

Komunikasi terbuka juga dilancarkan dengan gencar mulai dari pemberitahuan kasus baru beserta keterangan lokasinya, update tata cara penanganan, hingga sistem yangmelacak mereka yang terinfeksi.

Upaya-upaya tersebut diperkuat dengan birokrasi pengadaan fasilitaskesehatan yang cepat dan terdesentralisasi sehingga penanganan dapat dilakukandengan cepat.

Baca Juga: Caca Tengker Lakukan Kegiatan Ini di Rumah Bersama Ansara, Ekspresi Buah Hatinya Curi Perhatian

"Sekarang di Indonesia suda ada WFH (Work From Home), bagi sebagian pegawai itu efektif. Namun, bagi pekerja harian, mereka yang harus mencari uang hari ini untuk makan hari ini, itu yang patut kita perhatikan," ujar Ginka.

Ginka mempertanyakan urgensi dari Pemprov DKI Jakarta yang terus bersikukuh melakukan lockdown.

"Urgensi apa sih Pemerintah DKI Jakarta meminta lockdown ke pemerintah pusat. Sementara di DKI kita lihat banyak sekali pedagang kecil, asongan, ojol, yang harus keluar rumah mencari makan," imbuhnya.

"Kalau lockdown total, masyarakat akan makin susah. Bagaimana nanti mereka mencari makan. Siapa yang mau bertanggungjawab terhadap kehidupan mereka dan keluarga?"

Menurut Ginka, seharusnya Pemprov DKI tidak melampaui kewenangan dari pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan terkait pandemi Covid-19.

"Gubernur Anies misalnya dikritik saat mengembuskan isu lockdown Jakarta. Padahal, belum ada instruksi dari Jokowi untuk mengarantina wilayah."

"Pekan lalu, Mendagri Tito Karnavian bahkan harus repot-repot ke BalaiKota untuk mengingatkan Anies agar tak sembarangan mengeluarkan kebijakan," katanya

Baca Juga: Roy Kiyoshi Tak Ragu-ragu Bocorkan Inisal Artis yang Gunakan Susuk, Mulai dari Artis Senior Sampai Pedangdut, 'Susuknya Diminum'

Maka dari itu, aliansi mempertanyakan dan mengkritisi, pernyataan urgensi lockdown, versi gubernur DKI Jakarta, yang menyampaikan bahwa sebagai shock therapy atau efek kejut beberapa waktu lalu.

Kemudian, mempertanyakan kesiapan, koordinasi dan peran serta yang dilakukan oleh Pemprov DKI, sebelum melakukan permintaan lockdown kepada pemerintah pusat.

Lalu, imbuh Ginka pertanyaan mengenai sudahkah ada sosialisasi dan uji materi dari berbagai aspek, terkait efek pernyataan tersebut kepada seluruh masyarakat DKI Jakarta.

"Di sini kami menanyakan apa kesiapan Pemprov DKI Jakarta atas permohonan lockdown terhadap pusat. Jangan seolah-olah permohonan itu justru dipolitisasi. Sementara Pemprov DKI belum menjalankan opsi-opsi lain untuk menangani corona," ujarnya.

Ginka khawatir, jika lockdown total di Jakarta benar-benar dilakukan, akan timbul masalah-masalah sosial yang bisa berujung pada terganggunya kestabilan keamanan.

"Yang dikhawatirkan, jika masyarakat dipaksa harus di rumah tanpa kebutuhan pokok, maka akan terjadi kerusuhan, panic buying.

"Jika kita lihat, sekarang saja ada maklumat Kapolri untuk menghindari kerumunan, namun pada kenyataannya pasar-pasar masih ramai," imbuhnya.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive.com dengan judul "Aliansei BEM Jakarta Berusara Nilai Fasilitas Hotel Bintang Lima Untuk Tenaga Medis Berlebihan"