Terjadi Kekerasan di Sekolah, Ini Alasan Mengapa Anak Bersikap Agresif

By Maharani Kusuma Daruwati, Kamis, 8 Februari 2018 | 22:49 WIB
menilai kecerdasan anak dari ranking disekolah adalah hal yang kurang tepat dilakukan ()

Nakita.id - Setiap orangtua berharap dengan menyekolahkan anak, maka akan mendapatkan pendidikan dan rasa pembelajaran.

Moms mungkin juga berpikir dengan berada di sekolah anak akan menjadi aman dan terkendali.

Di sekolah pula Moms menyerahkan sepenuhnya sang buah hati kepada guru untuk di bimbing.

Sebagai tempat menuntut ilmu, seharusnya sekolah menjadi tempat yang aman.

Namun, tidak bisa dielakkan kalau kasus kekerasan masih terjadi di sekolah.

BACA JUGA: Romantis, Ini Ucapan Selamat Ulang Tahun Terakhir Samuel Untuk Franda

Bentuknya beragam, antara guru ke siswa, siswa dengan sesama siswa, dan ada juga dari siswa ke guru.

Dari data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015, terdapat 127 siswa yang menjadi korban kekerasan dan 64 siswa yang menjadi pelaku kekerasan.

Awal Februari ini, kita dikejutkan dengan seorang guru kehilangan nyawa yang diduga akibat kekerasan anak muridnya di Sampang.

Ini bukan pertama kalinya hal ini terjadi di Indonesia.

Sebelumnya, kita lihat kembali kasus kekerasan yang dilakukan oleh murid kepada guru di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

kasus kekerasan pada guru yang dilakukan oleh murid di Indonesia

Angka ini tergolong besar, dan jika ditelusuri, penyebabnya umumnya hampir sama.

Siswa yang tidak terima dengan perlakuan guru sehingga emosinya tersulut.

Emosi yang tidak bisa dikendalikan ini membuat siswa akhirnya berbuat nekat.

Ada yang memukul guru, bahkan menyebabkan kematian.

Namun pertanyaannya, kenapa anak bisa melakukan tindakan agresif seperti ini?

Bentuk Pelampiasan Emosi Negatif

Ketika berada di masa pertumbuhan, kita seringkali mengalami masalah emosional.

Hal ini bisa menumpuk di dalam pikiran sehingga lama-lama akan membuat remaja menjadi frustasi.

Rasa frustasi ini pun diluapkan dalam banyak hal, seperti marah-marah, mengamuk, atau justru diam dan memendamnya sendiri.

Dikutip dari artikel Dealing with 'Hostile and Aggressove Behaviour in Student' yang dirilis oleh University of Minnesota, setidaknya ada tiga kategori dalam tindakan agresif ini, yaitu agresi verbal, agresi fisik, dan vandalisme.

Agresi verbal berupa kebiasaan melawan, berkata-kata kasar, memerintah, mengganggu orang lain, bahkan mengancam.

Salah satu contohnya yakni ketika ada guru yang menegur, maka siswa akan melawan dengan kata-kata kasar atau bahkan ancaman.

Kedua, agresi fisik. 

Secara garis besar, proses peluapan emosi berupa tindakan memukul, menendang, mencekik, berkelahi, melempar barang dengan tujuan menyakiti, menggigit dan lainnya.

Dalam kasus yang lebih parah, bisa berupa tindakan yang melukai, seperti penusukan dengan pisau.

Terakhir, vandalisme, yaitu tindakan merusak dan menghancurkan properti yang ada di sekitarnya.

BACA JUGA: Resep Rendah Kalori dari Mentimun ini Bisa Moms Jadikan Cemilan

Penyebab Tindakan Agresif Pada Murid

Sebenarnya, apa, sih, yang membuat seseorang bisa melakukan tindakan agresif seperti ini?

Hal ini merupakan sesuatu yang kompleks dan multidimensi.

Menurut psikolog Roslina Verauli, gen agresif bisa menurun dari orangtua kepada anak.

Seseorang dengan riwayat keluarga yang memiliki tindakan agresif, besar kemungkinan akan melakukan hal yang sama sehingga akhirnya menjadi bagian dari kepribadiannya.

Dikutip dari artikel Dealing with Hostile and Aggressive Behavior in Student, berikut beberapa penyebab hal tersebut:

penyebab seseorang melakukan tindakan agresif

Lebih lanjut lagi, Roslina Verauli menyebutkan kalau hal di atas menyebabkan emosi anak yang tidak matang.

"Orangtua yang agresif atau orangtua yang terlalu memanjakan sehingga anak tumbuh tanpa mengenal aturan, ditambah dengan lingkungan yang juga menunjukkan agresivitas, akan membuat anak tumbuh dengan emosi yang tidak matang," jelasnya.

Akibatnya, kita tidak bisa merasakan empati terhadap orang lain dan sukar untuk berinteraksi di kehidupan sosial.

Kita tidak bisa melihat ada figur lain yang memiliki otoritas dan aturan yang harus dipenuhi.

Sebagai contoh, gagalnya murid melihat guru sebagai figur yang bisa mendisiplinkan, juga aturan yang harus dijalani.

“Ketika berada di situasi terancam, tertekan, atau frustasi, seperti dilarang melakukan ini atau itu, dipermalukan karena dihukum, anak bisa mengeluarkan emosi yang berlebihan karena tidak adanya kemampuan mengontrol emosi. Kenapa tidak bisa? Karena emosinya yang belum matang,” jelas Vera.

Siklus yang Harus Segera Diputus

Berdasarkan penyebab di atas, bisa dilihat siklus yang sama dalam setiap kejadian kekerasan antara siswa terhadap guru.

Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat grafik berikut:

siklus siswa bisa lakukan kekerasan pada guru

“Ini merupakan hal yang multidimensional, sehingga kita harus melihat dari semua sisi. Bisa jadi, orang dewasa di sekitar anak juga tidak bisa menunjukkan cara mengelola emosi yang baik, dan anak pun melihat yang sama. Termasuk media masa,” tambah Vera.

BACA JUGA: Inilah Manfaat Tak Terduga yang Akan Dirasakan Bila Moms Mengonsumsi Mentimun

Mengontrol Emosi yang Baik

Marah memang tidak boleh ditahan, tapi melampiaskan lewat cara agresif bukan satu-satunya jalan.

Karena cara ini dalam kenyataannya hanya akan membuat amarah kita semakin menjadi-jadi.

Dalam keadaan tertentu, seperti dalam situasi mendesak, seringkali kita kesulitan untuk menahan diri, termasuk dalam mengekspresikan marah.

Namun, kita bisa kok mengontrolnya, atau dalam kata lain, belajar soal anger management.

Perlu dipahami anger management adalah mengerti apa yang sebenarnya kita inginkan di balik emosi tersebut?

Sehingga kita tahu cara melampiaskannya tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.

Pertama-tama, cari tahu apa yang membuat kita emosi. 

Seringkali marah merupakan emosi yang sengaja dimunculkan untuk menutupi emosi lain, seperti malu, insecure, terluka, atau perasaan tidak berdaya

Jika mengalami hal ini, tidak perlu ragu untuk menghadapi emosi yang sebenarnya dan berhenti bersembunyi di balik marah.

Ini hal yang normal dan bukan hanya dihadapi oleh kita saja.

Selanjutnya, kenali tanda-tanda kita akan marah, sehingga kita bisa ‘mendinginkan pikiran’ dan tidak melakukan tindakan agresif.

Segera hindari orang, tempat, atau situasi yang akan membuat kita semakin tidak terkontrol ketika tanda-tanda ini mulai muncul.

Terakhir, belajar berkomunikasi dengan orang lain dan pahami kalau ada figur lain yang memiliki otoritas lebih dibanding kita, juga ada aturan yang harus dipahami.

BACA JUGA: Hindari Kebiasaan ini Bila Tak Ingin Mengidap Penyakit Jantung! No.4 Tak Terduga

Dengan pola komunikasi yang baik, kita bisa mencari jalan keluar dari setiap masalah, dan tidak melampiaskannya lewat kekerasan.

Tidak perlu takut mencari bantuan jika dirasa diri sendiri sudah tidak sanggup menahan emosi. Dengan begitu, kita bisa terhindar dari tindakan agresif yang membahayakan ini.