Menelusuri keberadaan wilayah Saranjana dalam persfektif ilmiah, memunculkan beberapa dugaan sementara.
Hipotesa pertama, Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut. Suku Dayak dengan kehidupan semi nomaden.
Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim sub-etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan.
Noerid Haloei Radam berpendapat orang Dayak Samihim diperkirakan termasuk rumpun Maanyan.
Dugaan bercerai berainya sub suku Maanyan sampai ke Pulau Laut, disebabkan penaklukan daerah-daerah sekitar saat pembentukan kerajaan Negara Dipa.
Dalam sumber lisan, nyanyian atau wadian Orang Maanyan, kerajaan mereka yang dikenal dengan Nan Sarunai dirusak oleh pasukan Jawa (disebut dari Marajampahit atau Majapahit).
Kemungkinan besar Empu Jatmika memerintahkan hulubalang-nya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa dengan pasukannya menaklukkan orang Maanyan yang tidak mau menjadi rakyat Kerajaan Negara Dipa. Sebagian kelompok Orang Maanyan terusir.
Kemudian, mereka melakukan pengusian ke berbagai penjuru di Kalimantan. Termasuk, orang Dayak Samihim yang menetap di kawasan Pamukan, Cengal, Manunggul, Bangkalaan hingga Pulau Laut yang nantinya menjadi bagian wilayah Kerajaan Tanah Bumbu.
Pendapat lain seperti tertulis dalam buku Sejarah Kotabaru bahwa sebelum masuknya agama Islam, daerah Kotabaru didiami penduduk dari suku Dayak yang menganut kepercayaan Animisme, baik di Kotabaru (Pulau Laut), Cengal, Cantung, Sampanahan dan lainnya masih hidup berkelompok.
Kapan kurun waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan wilayah dari Suku Dayak Samihim? Diduga sebelum tahun 1660-an Masehi. Dengan kata lain, sebelum abad 17.
Alasannya, pada tahun 1660 berdasarkan catatan Goh Yoon Fong, Pulau Laut sudah menjadi tanah apanage/apanaze Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar.