Nakita.id - Warga di Kalimantan mungkin sudah sering mendengar Kota Saranjana.
Kota Saranjana sering dijuluki kota gaib, karena kota itu jarang sekali terlihat.
Tapi, mengutip dari Tribunnews, menurut cerita, ada beberapa orang yang pernah melihat kota ini.
Menurut beberapa cerita, Kota Saranjana memang tak terlihat, namun ada.
Konon kota ini sudah sangat modern.
Bangunannya juga sudah modern.
Namun, hal itu masih menjadi misteri karena belum bisa dibuktikan.
Ada banyak cerita yang berhubungan dengan kota gaib di Kalimantan ini.
Misalnya, di sini buah-buahan tumbuh dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran normal.
Namun, buah-buahan itu akan berubah (mengecil) saat di bawah keluar dari Kota Saranjana.
Jika kita mencari Kota Saranjana di Google Maps, kita tidak akan menemukannya.
Namun, pada tahun 1845, kota ini sempat ada di dalam peta Indonesia buatan Salomon Muller.
Dalam peta itu, ada wilayah bernama Tandjong (hoek) Serandjana.
Di peta itu, Kota Saranjana ada di sebelah selatan Pulau Laut.
Dalam kapasitasnya sebagai pembuat peta, Salomon Muller menjabat anggota des Genootschaps en Natuurkundige Komissie in Nederlands Indie yang sudah mendapatkan pelatihan dari Museum Leiden dan sedang melakukan perjalanan penelitian tentang dunia binatang dan tumbuhan di kepulauan Indonesia.
Belum bisa dipastikan apakah Salomon Muller pernah berkunjung ke Tandjong (hoek) Serandjana sebelum memetakannya.
Salomon Muller pun tidak pernah menyinggungnya dalam beberapa artikelnya yang diterbitkan Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Peta yang memuat Tandjong (hoek) Serandjana tersebut dimuat dalam Reizen en onderzoekingen in den Indischen Archipel, seri pertama yang diterbitkan Staatsbibliothek zu Berlin.
Peta ini dibuat 18 tahun sebelum Salomon Müller meninggal dunia pada tahun 1863.
Sumber lainnya yang memuat tentang Serandjana adalah Pieter Johannes Veth, dalam "Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie: bewerkt naar de jongste en beste berigten", halaman 252.
Kamus ini diterbitkan di Amsterdam oleh P.N. van Kampen, tahun 1869. Veth menuliskan "Sarandjana, kaap aan de Zuid-Oostzijde van Poeloe Laut, welk eiland aan Borneo's Zuid-Oost punt is gelegen" (Sarandjana, tanjung di sisi selatan Poeloe Laut, yang merupakan pulau yang terletak di bagian tenggara Kalimantan).
Secara terminologi, kalau dikomparasikan dengan kosakata India, "Saranjana" berarti tanah yang diberikan.
Menelusuri keberadaan wilayah Saranjana dalam persfektif ilmiah, memunculkan beberapa dugaan sementara.
Hipotesa pertama, Saranjana adalah wilayah kekuasaan dari Suku Dayak yang bermukim di Pulau Laut. Suku Dayak dengan kehidupan semi nomaden.
Suku Dayak yang dimaksud adalah Dayak Samihim sub-etnis suku Dayak yang mendiami daerah timur laut Kalimantan Selatan.
Noerid Haloei Radam berpendapat orang Dayak Samihim diperkirakan termasuk rumpun Maanyan.
Dugaan bercerai berainya sub suku Maanyan sampai ke Pulau Laut, disebabkan penaklukan daerah-daerah sekitar saat pembentukan kerajaan Negara Dipa.
Dalam sumber lisan, nyanyian atau wadian Orang Maanyan, kerajaan mereka yang dikenal dengan Nan Sarunai dirusak oleh pasukan Jawa (disebut dari Marajampahit atau Majapahit).
Kemungkinan besar Empu Jatmika memerintahkan hulubalang-nya, Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa dengan pasukannya menaklukkan orang Maanyan yang tidak mau menjadi rakyat Kerajaan Negara Dipa. Sebagian kelompok Orang Maanyan terusir.
Kemudian, mereka melakukan pengusian ke berbagai penjuru di Kalimantan. Termasuk, orang Dayak Samihim yang menetap di kawasan Pamukan, Cengal, Manunggul, Bangkalaan hingga Pulau Laut yang nantinya menjadi bagian wilayah Kerajaan Tanah Bumbu.
Pendapat lain seperti tertulis dalam buku Sejarah Kotabaru bahwa sebelum masuknya agama Islam, daerah Kotabaru didiami penduduk dari suku Dayak yang menganut kepercayaan Animisme, baik di Kotabaru (Pulau Laut), Cengal, Cantung, Sampanahan dan lainnya masih hidup berkelompok.
Kapan kurun waktu keberadaan wilayah Saranjana yang diperkirakan wilayah dari Suku Dayak Samihim? Diduga sebelum tahun 1660-an Masehi. Dengan kata lain, sebelum abad 17.
Alasannya, pada tahun 1660 berdasarkan catatan Goh Yoon Fong, Pulau Laut sudah menjadi tanah apanage/apanaze Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar.
Lengkapnya Goh Yoon Fong menuliskan "permufakatan bangsawan Banjar memutuskan bahwa Raden Bagus diangkat sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Amarullah Bagus Kusuma (1660-1663). Kemudian, sebagai penghormatan dan imbalan perdamaian, Pangeran Purabaya diberikan daerah Pulau Laut sebagai tanah apanagenya".
Kesimpulan, berdasarkan hipotesa ini bahwa Kerajaan Saranjana muncul sebelum tahun 1660 an atau pra Abad ke 17 Masehi. Saranjana berbentuk Kerajaan Ethnic State (Negara Suku) dari Suku Dayak Samihim. Kepala Suku pertama adalah Sambu Ranjana.
Awalnya, menganut kepercayaan animisme. Tetapi, seiring perkembangannya, mulai mendapat pengaruh Hindu lama. Hal ini dibuktikan dengan nama Sambu Ranjana yang dipengaruhi unsur Hindu Suk.
Walaupun sudah meninggalkan wilayahnya, nama pusat kekuasaan Suku Dayak Samihim di Pulau Laut, sampai sekarang tetap dinamakan dengan Saranjana.
Secara ilmiah, memang ada fakta-fakta mental (mentifact) di pikiran masyarakat pendukung kepercayaan tentang "mitos Saranjana"di Kotabaru.
Intinya, bila ada yang sengaja mencari daerah Saranjana, kebanyakan mereka tidak akan menemu-kannya.
Melihatnya dari sudut pandang bahasa, keberadaan nama Saranjana/ Sarangjana atau Serandjana dalam tulisan naturalis Belanda, memiliki kesamaan toponim dengan Sarangtiung.
Wilayah Saranjana ada di wilayah selatan Pulau Laut. Sementara daerah Sarangtiung di wilayah utara Pulau Laut. Bukan anomali. Apakah unsur kesamaan ini menunjukkan hubungan? Perlu pendalaman.
Secara terminologi, kalau dikomparasikan (dibandingkan) dengan kosakata India, "Saranjana" berarti tanah yang diberikan.
Hal ini diungkapkan sejarawan India, S.D. Chaudhri dalam "Indian Cases". Buku terbitan Law Publishing Press, 1917, halaman 74.
Memang cukup jauh apabila mencari perbandingan sampai ke India. Tidak salah memang. Faktanya orang-orang India memakai nama ini. Sebut saja nama orang India, Saranjana Kulkarni. Nama perusahaan Saranjana Manufacturing, dan sebagainya.
Akan tetapi, pendapat yang kedua ini, lagi-lagi hanya bertaraf menjadi pencocokan (cocoklogi) karena terbentur data. Penelusuran akhirnya berhenti di sumber lisan lokal.
Baca Juga: Mendadak Muncul Memar Biru-biru di Lengan dan Kaki? Bukan Mistis, Ternyata Ini Penyebabnya
Normasunah, dalam publikasinya bertitel "Myths in Legend of Halimun Island Kingdom in Kotabaru Regency" (Mitos dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun di Kabupaten Kotabaru), memberikan pandangan lain.
Legenda Kerajaan Pulau Halimun. Tokohnya, Raja Pakurindang, Sambu Batung dan Sambu Ranjana.
Normasunah berpendapat sesuai mitos. Gunung Saranjana merupakan jelmaan dari tokoh Sambu Ranjana dalam Legenda Kerajaan Pulau Halimun.
Dalam mitos itu, Raja Pakurindang mengatakan “Sambu Batung, engkau dan Putri Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan rencanamu membuka diri dan membaur di alam nyata, dan engkau Sambu Ranjana tinggallah di selatan lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui jalan hidup yang kalian tempuh. Namun ingat, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Selalu bantu-membantu dan saling mengingatkan.”
Kesimpulannya, nama Sambu Ranjana inilah yang kemudian mengalami "evolusi" pelafalan menjadi "Saranjana" dalam lidah orang lokal.
Apakah mitos ini bisa dipercaya? Sampai dimana derajat kebenarannya? Bagaimana dengan unsur historisitasnya? Normasunah dalam tulisannya memberikan jawaban.
Mitos, bagian dari bahasa yang subtansinya tidak terletak pada gaya, irama, atau sintaksisnya.
Melainkan pada cerita yang diungkapkannya. Fungsi mitos terletak pada suatu tataran khusus yang di dalamnya makna-makna melepaskan diri dari landasan yang semata mata kebahasaan.
Dari deretan pendapat dengan cara pandang lingua-historis ini paling tidak memberikan informasi penting. Asal nama Saranjana yang paling mendekati kebenaran adalah Sambu Ranjana.
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR