Otak Juga Perlu Olahraga, Begini Caranya Agar Terhindar Dari Pikun

By Soesanti Harini Hartono, Senin, 7 Mei 2018 | 20:04 WIB
Mengisi teka-teki silang juga salah satu cara mengaktifkan otak. (Grid.id)

Nakita.id.- Program olahraga otak yang telah banyak dikenal adalah senam otak (brain gym). Para ahli percaya, otak pun perlu olahraga supaya bertambah sehat. 

Senam otak adalah program pelatihan yang dikembangkan oleh Prof. Paul E. Dennison Phd, dan Gail E. Dennison sejak tahun 1970.

BACA JUGA: Hati-hati Moms, Pencahayaan Redup Berpotensi Kecilkan Volume Otak

Menurut Henry Remanlay, instruktur senam otak bersertifikat dari Education Kinesiologi, California, yang berpraktik di Dr. Tan Wellbeing Clinics dan Remanlay Special Needs Health, senam otak dilakukan melalui tiga dimensi, yaitu;

- Lateralitas komunikasi (dimensi kiri-kanan) bertujuan mengoptimalkan kemampuan belajar.

Gerakannya menyangkut mendengar, melihat, menulis, bergerak, dan sikap positif.

- Pemfokusan pemahaman (dimensi muka-belakang) bermanfaat membantu kesiapan dan konsentrasi untuk menerima hal-hal baru dan mengekspresikan apa yang sudah diketahui.

Gerakan berupa latihan meregangkan otot menyangkut konsentrasi dan pemahaman.

BACA JUGA: 11 Tahun Bersama, Warganet Sebut Hubungan Glenn dan Chelsea Relationship Goals

- Pemusatan pengaturan (dimensi atas-bawah) membantu meningkatkan energi yang menyangkut berjalan, mengorganisasi, atau ujian,

Hal ini bermanfaat untuk membantu seluruh potensi dan keterampilan yang dimiliki serta mengontrol emosi. 

Lakukan senam otak secara teratur. Yang penting jangan khawatir kalau kita sering lupa. Rasa khawatir ini justru membuat penyakit lupa tambah parah.'

BACA JUGA: Ngefans, Anak Astrid Tiar Nyanyi Lagu 'Sayang' Hingga Akhirnya Bisa Video Call dengan Via Vallen

Hasil studi North Carolina State University yang dimuat dalam Psychology and Aging Journal menyebutkan, orang tua yang sehat di Amerika mendapat hasil tes yang buruk setelah diberitahu bahwa penuaan bisa membuat seseorang menjadi pikun.

"Percayalah pada sesuatu yang negatif membuat kita akan benar-benar mengalaminya. Padahal kinerja otak kita mungkin tak seburuk yang kita cemaskan," jelas Thomas M. Hess, PhD, ketua tim peneliti dan profesor di bidang psikologi. (*)