Cara Efektif Mencegah Kekerasan dalam Keluarga yang Berakibat Fatal pada Kesehatan Mental Anak

By Shannon Leonette, Selasa, 18 Juli 2023 | 13:00 WIB
Cara efektif mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga agar tidak berdampak fatal pada kesehatan mental anak (Nakita.id)

Nakita.id - Setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional.

Hari Anak Nasional sendiri menjadi ajang penting untuk mengingat kembali harapan bangsa terhadap anak di masa depan, yakni generasi yang sehat, hebat, dan cerdas.

Jadi, jangan heran kalau Hari Anak Nasional diperingati sebagai bentuk kepedulian seluruh masyarakat Indonesia atas keamanan, kesejahteraan, serta kebahagiaan kehidupan anak.

Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional, tahun ini Nakita mengangkat topik tentang menjaga kesehatan mental anak dan remaja.

Hal ini merupakan kewajiban bagi para orangtua di Indonesia, demi menciptakan generasi yang berkualitas untuk bangsa dan negara.

Namun sayangnya, jumlah korban kekerasan anak semakin meningkat setiap tahunnya.

Hal ini telah disampaikan oleh pihak KEMENPPPA pada Senin (17/7/2023), yang mana jumlah korban anak yang mengalami kekerasan periode Januari-April 2023 mencapai 4.245 kasus, dengan rincian 3.452 korban anak perempuan dan 1.147 korban anak laki-laki.

Moms dan Dads harus tahu, tindakan kekerasan pada anak bisa berdampak secara fisik, psikis, hingga sosialnya.

Sehingga, Moms dan Dads perlu mencegahnya sedini mungkin demi menjaga kesehatan mental sang anak ataupun remaja.

Cara Efektif Mencegah Kekerasan di dalam Keluarga

Menurut Anindya Dewi Paramita, M.Psi, kekerasan dari orangtua itu banyak sekali faktornya.

"Salah satunya yang suka bikin kelepasan adalah orangtuanya sendiri lagi capek secara emosi dan secara mental," ungkap psikolog yang akrab disapa Mita dalam wawancara eksklusif Nakita, Jumat (14/7/2023).

Baca Juga: Kenapa Menjaga Kesehatan Mental Anak dan Remaja Sangat Penting? Ternyata Ini Dampaknya Terhadap Pertumbuhan

"Orangtua punya kewajiban dan tanggung jawab untuk mengurus, mengasuh, mendidik anak. Tapi, kita (orangtua) juga punya tanggung jawab dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri," terang Mita.

"Jadi, orangtua ini juga perlu aware bahwa apakah memang iya ini marahnya karena benaran marah sama anak, atau sebenarnya kesalahannya enggak segitunya. Jadi enggak perlu marah juga, tapi kita jadi marah karena kesulut saja," lanjutnya.

Anindya Dewi Paramita, M.Psi selaku psikolog anak di Lenting Indonesia

Psikolog anak ini mencontohkan kasus ketika anak menumpahkan air di meja misalnya.

"Apakah responnya harus marah atau bagaimana?" sebutnya.

"Kalau misalnya ada situasi seperti itu, memang perlu latihan dan tidak mudah. Sebelum bereaksi dulu, stop dan tarik napas 1-5 detik. Baru dipikir sebenarnya kejadiannya apa, dan perlu seberapa besar reaksinya," sarannya.

Mita menjelaskan, reaksi tertentu dari orangtuanya akan berpengaruh pada respon anak itu sendiri. Atau, bagaimana cara anak menangkap sinyal dari orangtuanya.

"Kita kan mau anak lebih berhati-hati, atau kita mau dia lebih memperhatikan. Berarti, apakah dengan marah bisa bikin dia belajar? Belum tentu juga ya," ujar psikolog yang saat ini berpraktik di Lenting Indonesia.

"Jadi, ketika ada kejadian-kejadian yang (bikin kita) trigerred, kita stop sebentar dulu, tarik napas, baru bereaksi," katanya berpesan.

Selain itu, Mita juga mengingatkan bahwa orangtua juga perlu melakukan me time.

"Me time-nya apa? Apa saja, macam-macam. Setiap orang punya preferensi yang berbeda-beda," sebutnya.

Baca Juga: Para Orangtua Wajib Tahu Ciri-ciri Anak Alami Masalah Kesehatan Mental, Salah Satunya Alami Gangguan Tidur

"Tapi, itu (me time) menjadi perlu supaya ketika kita sama anak, kitanya juga cukup dalam kondisi baik," terang Mita lagi.

Apalagi, jika Moms dan Dads sudah dalam tahap sedang bekerja.

Mita menyarankan, untuk orangtua yang bekerja bisa meluangkan waktu untuk diri sendiri.

Jangan langsung bermain bersama anak, sehingga tidak ada waktu untuk beristirahat sama sekali.

"Jadinya malah lebih mudah tersulut dan itu kan enggak enak," ucap Mita.

Pentingnya Orangtua Menjaga Kesehatan Mental Anak dan Remaja

Menurut Mita, anak maupun remaja masih dalam tahap tumbuh kembang.

"Artinya, semuanya itu masih belum settle, masih belajar ini dan itu, masih mencoba menemukan dirinya juga, masih mencoba beradaptasi juga," terangnya.

"Sehingga, kalau kesehatan mentalnya lumayan terganggu, pastinya proses tumbuh kembangnya juga akan semakin terganggu," lanjutnya.

Mita bahkan menyampaikan bahwa di dalam proses tumbuh kembang itu ada masa dimana anak belajar mandiri, belajar di sekolah, belajar berteman, belajar beradaptasi, juga belajar mengenal dunianya.

"Nah, itu yang nanti prosesnya enggak smooth lagi, sehingga dampaknya pada akhirnya mungkin baru terasa di saat-saat itu," ungkapnya.

"Misalnya, muncul masalah-masalah baru atau nanti di jangka panjang, pas (anak) sudah besar. Jadi, baru kerasanya tuh enggak bisa-bisa atau enggak enak-enaknya, enggak lancar-lancarnya," katanya.

Baca Juga: Waspada Bila Anak Susah Bergaul, Simak Dampak yang Ditimbulkan dan Cara Mengatasinya

Dampak Jika Orangtua Mengabaikan Kesehatan Mental Anak dan Remaja

Mita menyebut ada dua dampak yang bisa terasa, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Dampak Pendek yang Dirasakan

"Kalau yang langsung tuh misalnya, anak ingin makan es krim tapi enggak boleh karena ada aturan dari orangtuanya setelah ada penjelasan, kesepakatan, dan sebagainya. Tapi, kita perlu juga mengajarkan anak bahwa (aturan) ini sebenarnya enggak bolehnya kenapa sih," kata Mita.

"Terus, kalau misalnya anaknya kemudian marah-marah dan memaksa, kita (orangtua) juga harus bisa handle dengan baik juga. Kita harus juga ajarin ke anaknya bahwa, 'Oh, ini yang dia rasain tuh emosinya enggak suka, kesal'.

Jadi diajarin, supaya next time ketika dia (anak) ngerasain (emosi yang sama), dia bisa nge-deal sama emosi itu," jelasnya.

Psikolog anak ini menjelaskan, jika anak tidak diajarkan orangtuanya sejak dini, anak menjadi tidak belajar untuk melampiaskan emosi dengan baik dan benar. Bahkan, dapat merugikan orang lain.

"Misalnya, dia (anak) marah-marahnya lempar-lempar bantal, lempar-lempar barang," sebutnya.

"Itu kan juga salah satu bentuk secara mental mungkin dia belum matang emosinya, belum tahu bagaimana cara regulate-nya, belum tahu gimana cara ekspresiin yang baik itu," katanya menyampaikan.

Selain itu, tambah Mita, anak juga akan bingung bagaimana cara menyampaikan emosi yang sebenarnya.

Ditambah, orangtuanya juga ikut frustasi karena tidak paham kemauan anaknya.

"Pada saat itu, yang terjadi adalah masalahnya enggak selesai," ungkap Mita.

Dampak Panjang yang Dirasakan

Apabila orangtua mengabaikan kesehatan mental anak dan remaja secara terus-menerus, anak pada akhirnya tidak dapat belajar untuk mengelola emosinya dengan baik.

Baca Juga: Beda Usia Ayah-Anak Ternyata Bisa Mempengaruhi Gangguan Kesehatan Mental Si Kecil, Simak Faktanya

Menurut Mita, hal ini dikarenakan orangtua tidak mendampingi atau memberi contoh yang baik kepada anaknya.

"Jadi, ketika (anak) besar dan melakukan hal yang sama ketika marah, itu lebih sulit juga diterimanya.

Akhirnya, mungkin dia (anak) terkendala di pertemanannya," katanya menjelaskan.

"Apalagi, di kurikulum pendidikan sekarang bahkan sampai pendidikan tinggi itu fokus belajarnya ada di anak.

Banyak tugas-tugas, banyak proyek kelompok yang mengharuskan dia kerja sama, kolaborasi.

Nah, dia mungkin akan kesulitan sekali dalam bekerja dan mencari pasangan barangkali," lanjutnya.

Maka dari itu, jangan sampai Moms dan Dads mengabaikan kesehatan mental anak dan remaja begitu saja ya.

Pasalnya, kesehatan mental anak dan remaja yang terabaikan kemungkinan besar bisa memicu terjadinya gangguan mental tanpa disadari.

Selain itu, Moms dan Dads juga perlu mencegah terjadi kekerasan di dalam keluarga sedini mungkin agar tak berdampak pada kesehatan mentalnya.

Nah, itu dia Moms cara efektif mencegah kekerasan dalam keluarga. 

Semoga artikel ini bermanfaat, ya!

Baca Juga: Selamat Hari Kesehatan Mental Sedunia, Jaga Kesehatan Mental Sama Penting Dengan Kesehatan Fisik!