"Orangtua punya kewajiban dan tanggung jawab untuk mengurus, mengasuh, mendidik anak. Tapi, kita (orangtua) juga punya tanggung jawab dan kewajiban untuk mengurus diri sendiri," terang Mita.
"Jadi, orangtua ini juga perlu aware bahwa apakah memang iya ini marahnya karena benaran marah sama anak, atau sebenarnya kesalahannya enggak segitunya. Jadi enggak perlu marah juga, tapi kita jadi marah karena kesulut saja," lanjutnya.
Psikolog anak ini mencontohkan kasus ketika anak menumpahkan air di meja misalnya.
"Apakah responnya harus marah atau bagaimana?" sebutnya.
"Kalau misalnya ada situasi seperti itu, memang perlu latihan dan tidak mudah. Sebelum bereaksi dulu, stop dan tarik napas 1-5 detik. Baru dipikir sebenarnya kejadiannya apa, dan perlu seberapa besar reaksinya," sarannya.
Mita menjelaskan, reaksi tertentu dari orangtuanya akan berpengaruh pada respon anak itu sendiri. Atau, bagaimana cara anak menangkap sinyal dari orangtuanya.
"Kita kan mau anak lebih berhati-hati, atau kita mau dia lebih memperhatikan. Berarti, apakah dengan marah bisa bikin dia belajar? Belum tentu juga ya," ujar psikolog yang saat ini berpraktik di Lenting Indonesia.
"Jadi, ketika ada kejadian-kejadian yang (bikin kita) trigerred, kita stop sebentar dulu, tarik napas, baru bereaksi," katanya berpesan.
Selain itu, Mita juga mengingatkan bahwa orangtua juga perlu melakukan me time.
"Me time-nya apa? Apa saja, macam-macam. Setiap orang punya preferensi yang berbeda-beda," sebutnya.
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR