Nakita.id - Dalam kurun waktu 2 hari ini, Indonesia diliputi duka mendalam akibat aksi terorisme di beberapa titik di Surabaya yang sungguh tak berperikemanusiaan.
Mirisnya, aksi ini melibatkan suami istri dan anak-anak mereka.
Pada hari pertama (13/5), satu keluarga beserta empat anaknya melakukan aksi bom di 3 gereja yang berbeda yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat di Jalan Arjuna.
Tak berhenti sampai disitu, keesokan harinya bom bunuh diri kembali terjadi di Polrestabes Surabaya yang disinyalir dilakukan oleh orangtua dan anaknya.
BACA JUGA: Cara Orangtua Hindarkan Anak dari Trauma Tayangan Bom Surabaya
Menanggapi kasus ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengungkapkan bahwa dewasa ini trend kejahatan teror tak hanya semata dilakukan orang dewasa namun juga melibatkan anak-anak.
"Dahulu rekrutmen jaringan terorisme melalui pengantin, kini polanya bergeser dimana anak-anak turut dilibatkan dalam kejahatan terorisme," ujar Susanto, MA selaku Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam Konferensi Pers 'Stop Pelibatan Anak dalam Kejahatan Terorisme di Kantor KPAI, Selasa (15/5).
Susanto menyebutkan, pergeseran modus ini penting untuk diketahui masyarakat agar pencegahan bisa dilakukan agar kejadian serupa tak terulang kembali.
BACA JUGA: Perempuan Terlibat Dalam Aksi Bom Surabaya, Ini Tanggapan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Pola pertama yang digunakan yaitu melalui modus pernikahan, di mana pelaku menggunakan ikatan pernikahan untuk memuluskan aksinya.
Kedua, modus indoktrinasi melalui media sosial yang menjadi pilihan para mentor jaringan teroris yang menyasar generasi muda utamanya remaja yang kedepannya akan dilibatkan dalam aksi teror.
Ketiga, patronase guru.