Cara Menghadapi Anak yang Suka Dramatisasi Masalah

By Ipoel , Senin, 29 Oktober 2012 | 21:00 WIB
Ada cara orangtua untuk menghadapi anak yang suka dramatisasi masalah. (Pixabay/amandacatherine)

Nakita.id - Perhatikan, perilaku dramatis kerap terkait dengan perilaku mengamuk (tantrum).

Mengamuk, selain berhubungan dengan pengendalian emosi yang masih kurang baik dan tidak stabil, umumnya juga dipicu oleh rasa tidak nyaman pada anak.

Nah, dengan kondisi emosi yang seperti itu, ditambah perilaku khas usia anak-anak 3-5 yang memang masih egosentris, si kecil pun lalu menyalurkan emosi dengan cara yang tidak tepat, yakni dengan mendramatisasi masalah.

Saat ia menghadapi sesuatu, luapan emosinya terlihat sangat dramatis.

Dari mana anak belajar mendramatisasi ekspresi emosinya?

Apakah Anda termasuk orang yang heboh kala menyikapi sesuatu? Kalau ya, boleh jadi si kecil mendapatkan pelajaran itu dari Anda. 

Jiwa egosentrisnya yang masih kuat membuat anak menikmati perhatian heboh yang diberikan orangtua kepadanya.

Si kecil yang pandai lantas akan menarik kesimpulan bahwa ia ternyata bisa memanipulasi respons orangtua terhadapnya.

Dari situ, muncullah dorongan untuk bersikap berlebihan demi mendapatkan perhatian lebih.

Baca Juga: Anak Tersiksa karena Batuk Terus-terusan, Pertolongan Pertamanya Ada Pada Air Rebusan Daun Saga

Bahkan, ia ingin menjadi pusat perhatian lingkungan dengan menunjukkan siapa dirinya dan apa yang sedang ia alami.

Sebenarnya ia dapat memberikan reaksi secara biasa-biasa saja.

Tetapi karena orangtua lebih memerhatikannya kala ia bersikap heboh maka cara itulah yang ia pilih.

Namun, bukan berarti orangtua boleh bersikap tidak peduli ketika anak menuntut perhatian.

Sama halnya dengan reaksi berlebihan tadi, kekurangpedulian orangtua juga bisa mendorong munculnya perilaku heboh pada anak.

Semangatnya kurang lebih sama, yaitu hasrat untuk diperhatikan dan sebagai bentuk protes anak terhadap sikap orangtuanya yang tak acuh.

Ingat, anak-anak prasekolah sudah memiliki kemampuan testing the limit.

Sehingga ia akan mencari cara lain yang lebih atraktif jika tak berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitarnya dengan cara biasa-biasa saja.

Penyebab lain adalah sikap overprotektif orangtua.

Baca Juga: Anak Dijamin Makin Sayang, Ini Pentingnya Dads Berperan Sama dalam Pengasuhan Sesuai Tahapan Perkembangan Anak

Larangan pada anak untuk melakukan ini-itu (karena takut sang buah hati cedera), dan sikap mandiri anak yang kurang terstimulasi, umumnya akan membuatnya memiliki ambang toleransi yang rendah terhadap stres.

Resistansinya yang rendah terhadap stres ini membuatnya selalu mendramatisasi masalah setiap kali merasakan ketidaknyamanan.

Jangan lupakan juga, kegemaran si prasekolah melakukan peniruan terhadap tayangan drama di televisi (yang umumnya memang kerap melebih-lebihkan sesuatu).

Jadilah ia menangis berlebihan, berteriak kesakitan berlebihan, dan melampiaskan amarah dengan cara berlebihan pula.