Nakita.id- Masih hangat berita soal bunuh diri meninggalnya vokalis band Linkin Park, Chester Bennington dan kakak beradik Eliviana Parumbak (34) dan Eva Septiani Parumbak (28) yang nekat melompat dari lantai 5A apartemen Gateway, Bandung, Senin (24/7/2017).
Bila ditarik benang merah, ada kesamaan penyebab bunuh diri mereka, yaitu depresi yang berkepanjangan akibat ditinggal orang terkasih/sahabat terdekat. Pada Chester karena ditinggal sahabatnya Chriss Cornel, vokalis band Sound Garden yang juga bunuh diri di tahun sebelumnya.
Sedangkan kakak beradik Elivia dan Eva karena ditinggal mati ibunya. Bahkan saat adik pada saat bunuh diri tengah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit gangguan mental di Bogor.
Mengapa kematian orang terdekat bisa menyebabkan depresi yang berujung pada bunuh diri? Menurut Psikolog Erfiane Cicilia, Psi, MSi, yang akrab disapa Fifi, hal itu terjadi mungkin karena konsep hidup si pelaku bunuh diri adalah ‘Hidupku karena dan untuk dia’.
“Dia ini adalah orang yang meninggalkannya selamanya. Mengenai kejadian bunuh diri dua kakak beradik di Bandung, bisa saja mereka hanya tahu dan yakin bahwa hidupnya ini hanya karena ada ibu.”
Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian besar anak, orangtua, terutama ibu adalah pusat (centre) hidup mereka. Pun sebagian besar hidup anak dibesarkan oleh ibu karena ibu lebih banyak terlibat dalam pengasuhan. “Itu makanya, yang membuat anak survive juga sukses atau bahkan terpuruk, sedikit banyak akibat peran ibu,” tambah Fifi.
Baca juga: Pola Asuh Ini Dapat Membuat Anak Depresi
Jika ditanya apakah ada kaitannya dengan pola asuh orangtua sejak kecil, Fifi mengatakan “Kita tidak tahu secara pasti pola asuh orangtua dua kakak beradik yang melakukan bunuh diri di Bandung. Tapi pola asuh yang membatasi anak untuk memiliki alternatif pemecahan masalah bisa menjadi salah satu penyebab.”
Jadi sepeningal sang bunda kita merasa hidup tak lagi berarti, merasa tak ada tempat berlindung, bernaung, atau bahkan bergantung, nah, kondisi seseorang seperti itu, salah satunya bisa dikarenakan pola asuh.
Mengapa begitu? Menurut Fifi, “Logika kinerja otaknya begini; saat anak membangun jalur-jalur di otak atau istilahnya membuat banyak laci alternatif, tapi di kekang, orangtua selalu menegakkan aturan serba jangan, juga banyak di cut alias distop eksplorasinya, coba-cobanya, oleh orangtua, maka anak tidak belajar bahwa suatu kondisi harusnya bisa dihadapi dengan banyak cara.”
Jika demikian, saat si penegak aturan sudah pergi, jika si anak menemukan suatu masalah, ada kemungkinan si anak yang sudah dewasa tidak bisa apa-apa, yang ada dalam pikirannya hanya mengakhiri hidup.
Pola asuh yang tidak mengasah kemandirian atau self regulation, juga bisa saja membuat anak melakukan yang tidak diharapkan saat dia terbentur sesuatu, seperti bunuh diri.
“Saat anak tidak belajar mandiri, otomatis anak akan bergantung kepada sesuatu atau pihak tertentu. Bayangkan jika ini terjadi bertahun-tahun, sejak kecil hingga dewasa, yang ada di otaknya adalah setiap langkahku akan ada yang memutuskan dan mengarahkan, atau melindungi.”
Saat sosok yang dijadikannya tempat bergantung tidak ada lagi, tidak bisalagi melakukan hal-hal seperti biasanya, “Maka dia hanya mempunyai kenyataan, hidupnya sudah berakhir, dan itulah yang akan dipilihnya,” jelas Fifi.
“Saya melihat sekarang ini banyak fenomena, anak orang kaya, sekolah tinggi, tapi menganggur di rumah. Lalu si anak mengalami gangguan jiwa.”
Baca juga: 5 Masalah Kesehatan Umum Yang Berawal Dari Depresi
Tak hanya sampai disitu, anak-anak seperti itu saat masuk jenjang pernikahan, pola pikirnya tidak berubah. Ujung-ujungnya rumah tangganya bubar jalan, kalaupun tidak bubar rumah tangganya kacau balau. Maka itu hati-hati dengan pola asuh yang orangtua jalankan (*)
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR