Masalahnya, akibat dikondisikan “tidak boleh mengeluh”, dapat terjadi ia sebenarnya sudah kesakitan tetapi takut untuk menceritakan kepada orangtuanya.
Hati-hati, hal ini bisa berakibat fatal pada si anak! Bayangkan jika orangtua baru menyadari si sulung “sungguh” sakit setelah dalam kondisi yang sangat parah?
Sebaliknya, terhadap si bungsu, orangtua mengganggapnya sebagai yang paling lemah. Ketika si bungsu mengeluh hal sedikit saja, seluruh keluarga panik dan membawanya ke dokter untuk diperiksa segala macam. Akibatnya, anak jadi “cengeng”, mudah menyerah bila mengalami kesulitan.
Selain itu, adanya perlakuan yang bertolak belakang antara si sulung dan si bungsu ini, kerap membuat perkembangan psikologis keduanya jadi tidak baik. Misalnya antara kakak dan adik menjadi saling iri dan merasa rasa sayang orang tua tidak sama besar pada tiap anak. Hal ini dapat membuat sibling rivalry semakin parah, dan tidak jarang muncul rasa sakit hati hingga dewasa.
# Status “anak mahal”.
Tak jarang terjadi, pasangan suami istri menikah cukup lama dan belum dikaruniai buah hati. Setelah berbagai upaya dilakukan, bertahun-tahun kemudian barulah lahir seorang anak. Biasanya muncul sebutan “anak mahal” lantaran orangtua telah menghabiskan banyak biaya untuk berobat ke sana kemari demi mengupayakan hadirnya sang buah hati.
Celakanya, label ini kerap melekat terus, bahkan setelah adiknya lahir di kemudian hari. Buntutnya, muncul julukan “anak mahal” bagi si kakak, sementara adiknya dianggap “tidak mahal”. Padahal sesungguhnya adakah perbedaan harga di antaranya?
Tanpa disadari, hal ini dapat membuat anak sulung merasa lebih berharga dan lebih penting dibanding adiknya. Sedangkan sang adik dapat merasa rendah diri, karena merasa tidak memiliki “harga” yang sama berartinya bagi kedua orangtuanya.
# Status “anak kebobolan”
Ketika orangtua memutuskan untuk tidak memiliki tambahan anak lagi, misal, karena sudah cukup umur, namun tiba-tiba sang ibu hamil dan hadir seorang anak lagi, tak jarang muncul sebutan “anak kebobolan”.
Tentu saja, istilah ini sangat tidak baik bila sampai diketahui oleh si anak, karena memberikan kesan anak lahir tidak diinginkan oleh kedua orangtuanya.
Bagaimanapun, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang anak yang merasa tidak diinginkan orangtuanya. Tak jarang, anak yang menginjak remaja bila mendengar ini, akan merasa kehadirannya tidak diharapkan oleh keluarga.
Buntutnya, mereka cenderung ingin segera keluar dari lingkungan keluarganya, karena merasa tidak diharapkan kehadirannya. Biasanya mereka akan lebih terikat dengan kawan-kawannya ketimbang dengan keluarganya.
# Orangtua bertengkar di depan anak dan dokter.
Orangtua berbeda pendapat mengenai cara merawat anak, tentu hal ini masih dalam batas wajar bila dapat dikomunikasikan antara ayah dan ibu.
Namun, kerap terjadi, ketika anak sakit, orangtua malah saling menyalahkan satu sama lain di depan anak. Tak jarang ayah mengatakan ibu tidak dapat menjaga anak, tidak perhatian sama anak sehingga anak jadi sakit, dan sebagainya. Parahnya lagi, hal ini kerap terjadi ketika sedang membawa anaknya untuk diperiksa dan berkonsultasi dengan dokter.
Alhasil, anak pun mengalami tekanan emosional karena merasa menjadi sumber pertengkaran kedua orangtuanya. Kalau sudah begini, tak jarang anak merasa dirinya hanya sumber masalah dalam keluarga dan merasa sebagai pemicu pertengkaran orangtuanya.
Anak yang mengalami ini dapat menjadi ketakutan bercerita kalau ada masalah atau merasa sakit, karena khawatir apa yang dialami menjadi sumber pertengkaran orangtua. Biasanya ia akan menjadi lebih tertutup terhadap orangtuanya, apalagi bila ada masalah. (*)
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR