Valentina Anastasia (18), rela jauh-jauh datang dari Jakarta ke Banten untuk melihat lokasi terdampak.
Valentina mengaku ingin melihat lokasi tsunami secara langsung dan para korban.
Ketika ditanya berapa swafoto yang sudah ia ambil, Valentina hanya bisa tertawa kecil.
"Banyak. Buat media sosial, grup WhatsApp," tutur Valentina sambil melihat hasil fotonya di galeri ponsel.
Atas fenomena ini, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Prof Drs Koentjoro MBSc PhD menyatakan, ada dampak yang telah ditimbulkan dari kebiasaan masyarakat berswafoto ria.
"Selfie adalah bahasa lain dari 'ngomong'. Dengan ngomong eksistensi kita diakui. Dengan 'ngomong' orang tahu siapa saya. Selfie telah mengubah perilaku manusia," kata Koentjoro, melansir laman Kompas.com.
Masyarakat, menurut dia, tidak lagi terlalu memedulikan kondisi sekitar, karena yang terpenting bagi mereka adalah mendapatkan momen yang mungkin tidak akan mereka temui untuk kedua kalinya.
"Momen menjadi penting. Setiap kali ada momen orang selfie. Bahkan momen itu dicari dan diciptakan, sehingga nyawa menjadi taruhannya," kata Koentjoro.
Kecenderungan orang-orang untuk mengambil foto di lokasi-lokasi berbahaya atau kurang aman, menurut Koentjoro memunculkan wahana-wahana baru.
Source | : | Kompas.com,The Guardian |
Penulis | : | Rosiana Chozanah |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR